Keterlibatan penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana

KETERLIBATAN PENYANDANG DISABILITAS

DALAM PENANGGULANGAN BENCANA

 

Ratih Probosiwi

 

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial

(B2P3KS) Yogyakarta, Kementerian Sosial RI

Abstrak

Penyandang disabilitas menjadi orang yang paling berisiko pada saat bencana itu terjadi. Namun kenyataan yang terjadi selama ini, penyandang disabilitas cenderung dipinggirkan, bahkan dilupakan dalam perumusan kebijakan penanggulangan bencana. Disabilitas yang mereka miliki, dianggap menghilangkan kemampuan dalam berpendapat dan ikut dalam proses pemerintahan. Seringkali mereka tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan karena dinilai telah ditangani oleh orang-orang yang tepat (yang tidak menyandang disabilitas). Dalam undang-undang penanggulangan bencana maupun penyandang cacat, tidak ditemukan satupun pasal yang mengatur keterlibatan penyandang cacat dalam penanggulangan bencana. Penyandang disabilitas hanya dipandang sebagai kelompok rentan yang akan memperoleh perlakukan khusus pada saat bencana itu terjadi, kontroversi dengan pasal lain yang mengatur bahwa penanggulangan bencana adalah proses yang non-diskriminatif. Kajian ini mencoba mengurai pemikiran mengenai pentingnya pelibatan penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana untuk menilai dan merumuskan kebijakan penanggulangan bencana yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kebutuhan yang berbeda untuk tiap jenis disabilitas membutuhkan penanganan dan kebijakan yang berbeda pula dalam manajemen risiko bencana sehingga dibutuhkan masukan dan keterlibatan langsung dari penyandang disabilitas untuk memetakan kebutuhan mereka.

Kata Kunci: Penyandang Disabilitas, Pelibatan, Penanggulangan Bencana

 

  1. Pendahuluan: Marginalisasi Penyandang Disabilitas

Tidak ada yang menolong saya, karena warga tidak tahu bagaimana menolong seorang difabel seperti saya.” Begitulah yang disampaikan Naomy, penyandang disabilitas korban banjir Republik Fiji tahun 2006, pada sesi The 5th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction di Jogja Expo Center (JEC), 23 ktober 2012 yang lalu (tribunjogja.com, 2012). Naomy juga mengungkapkan kekecewaannya atas diskriminasi yang dialami para penyandang disabilitas terutama ketika terjadi bencana alam.

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa orang dengan disabilitas atau difabel, terdampak bencana secara tidak proporsional karena proses evakuasi, tanggap darurat, dan rehabilitasi seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Penyandang disabilitas menjadi kelompok yang tidak diikutsertakan dalam perencanaan penanggulangan dan kesiapsiagaan bencana dikarenakan pandangan negatif yang melekat pada mereka. Perumus kebijakan seperti lembaga legislatif dinilai masih kurang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini dapat dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai keberadaan dan kebutuhan perlindungan penyandang disabilitas, kurangnya advokasi yang dilakukan penyandang disabilitas atau organisasi kecacatan pada masing-masing stakeholder kecacatan.

Indonesia sebagai Negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi dikarenakan posisi geografisnya dan tingkat risiko bencana yang tinggi pula dikarenakan kepadatanan penduduknya, sudah seharusnya memperhatikan tingkat keselamatanan tiap warga negara dalam upaya penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Indonesia memiliki undang-undang penanggulangan bencana alam yaitu UURI Nomor 24 tahun 2007 untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dari ancaman bencana alam. Saat terjadi bencana, harus diperhatikan, bahwa tidak semua orang dapat menyelamatkan diri dengan mudah, misalnya anak-anak, wanita hamil, lansia, dan penyandang cacat. Mereka kemudian disebut dengan kelompok rentan. Anak-anak, wanita hamil, dan lansia merupakan istilah yang lebih sering didengar sehingga masyarakat lebih akrab dan peduli dengan kelompok ini, berbeda halnya dengan istilah penyandang disabilitas yang terdengar asing bagi sebagian orang bahkan cenderung terlupakan.

Dalam UURI Penanggulangan Bencana, penyandang disabilitas diatur untuk mendapat perhatian khusus dan prioritas dalam upaya penanggulangan risiko bencana (pasal 55 ayat 1), namun lebih lanjut tidak terdapat penjelasan mengenai upaya penanganan penyandang disabilitas padahal mereka harus diperlakukan khusus dikarenakan keterbatasannya. Penyandang disabilitas tidak dapat diperlakukan sama dengan kelompok rentan lainnya, misal bagaimana harus memegang tanpa melukai mereka. Upaya evakuasi yang selama ini diberlakukan oleh pemerintah, lebih banyak mengenai menggunakan apa dan ke arah mana mereka harus menyelamatkan diri, namun tidak memperhatikan mengenai cara penyelamatan bagi kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas. Aksesabilitas jalur evakuasi juga dinilai tidak representatif bagi kepentingan dan kebutuhan penyandang disabilitas, kondisi saat bencana yang panik juga membuat oranglain kurang peduli dengan kaum ini.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa perhatian terhadap penyandang disabilitas dinilai masih kurang, mulai dari aspek pendidikan, sarana prasarana, kesehatan, pekerjaan, hingga penanggulangan bencana alam. Kepedulian pemerintah terhadap kaum ini masih rendah, terlihat dari sedikitnya peraturan perundangan terkait disabilitas. Indonesia memiliki UURI Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UURI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat dalam rangka mewujudkan kesejehteraan sosial. Disayangkan, dalam undang-undang tersebut, tidak satupun pasal yang menyinggung masalah aksesibilitas penyandang cacat terhadap pengurangan risiko bencana, baik itu sebelum, pada saat, maupun sesudah bencana itu terjadi. Padahal disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Penyandang Cacat, bahwa kesempatan untuk mendapatkan kesamaan kedudukan, hak, dan kewajiban bagi penyandang cacat hanya dapat diwujudukan jika tersedia askesibilitas, yaitu suatu kemudahan bagi penyandang cacat untuk mencapai kesamaan kesempatan.

Kementerian Sosial RI dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosialnya terus mensosialisasikan program, rehabilitasi sosial penyandang cacat yaitu aksesbilitas fisik, pendidikan inklusi, serta ketenagakerjaan untuk para penyandang cacat sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam memberikan kesetaraan tanpa memandang fisik sebagai kesamaan Hak Asasi Manusia. Pelibatan penyandang cacat ini ditujukan untuk mengikis stigma yang selama ini melekat bahwa penyandang cacat atau penyandang disabilitas adalah mereka yang tidak berdaya, lemah, dan menjadi beban masyarakat. Hal ini sudah seharusnya diwujudkan pula dalam upaya pengurangan risiko bencana mengingat Indonesia merupakan Negara dengan potensi dan pengalaman bencana alam yang tinggi. Menurut World Health Organization (WHO), jumlah penyandang cacat di Indonesia adalah 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia, yaitu sekitar 23,76 juta jiwa, meningkatnya jumlah penyandang cacat di Indonesia diakibatkan oleh perubahan kondisi kesehatan, kurang gizi, faktor keturunan, dan bencana alam (Kementerian Sosial RI, 2010).

Pada tahun 2011, jumlah penyandang cacat di Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI mencapai 3,11% dari populasi penduduk atau sekita 6,7 juta jiwa. Sulit untuk menyebutkan jumlah pasti penyandang disabilitas dikarenakan perbedaan penggunaan istilah dan perbedaan penjabaran definisi penyandang disabilitas. WHO dalam World Report on Disability tahun 2011 memperkirakan, bahwa 15% populasi dunia merupakan penyandang disabilitas dan prevalensinya bahkan lebih tinggi di negara-negara pascakonflik (Agenda, 2011).

Pada UURI Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa salah satu prinsip penanggulangan bencana adalah nondiskriminatif dan memberikan prioritas perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Pelibatan penyandang disabilitas dalam upaya pengurangan risiko bencana didorong pemikiran bahwa penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar pada saat situasi darurat bencana, kesulitan ini akan meningkat jika kebutuhan khususnya tidak terpenuhi. Penyandang disabilitas sudah saatnya tidak hanya dipandang sebagai penerima manfaat, namun juga aktor yang terlibat langsung dalam program (Sahabat, 2011).

Penyandang disabilitas merupakan kelompok berisiko tinggi saat terjadi bencana, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan yang mereka miliki dan juga dikarenakan keterbatasan akses atas lingkungan fisik, informasi dan komunikasi di masyarakat. Bahkan, penyandang disabilitas cenderung lebih tidak terlihat selama terjadi bencana. Menurut Roland Hansen dalam Malteser Internasional (2012), korban bencana alam, baik itu saat terjadi bencana ataupun pascabencana, biasanya didominasi oleh kelompok lansia dan penyandang disabilitas. Perubahan lingkungan dan fasilitas yang tidak memadai yang terjadi akibat bencana membuat aksesibilitas difabel makin menurun. Seperti halnya wanita dan anak-anak, penyandang disabilitas dilaporkan menjadi korban bencana alam baik itu terluka maupun tewas akibat bencana dalam jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, kerentanan dan kebutuhan khusus penyandang disabilitas perlu diperhatikan dalam perencanaan program-program penanggulangan bencana, berdasarkan kemampuan mereka sendiri.

Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan pemikiran mengenai pentingnya pelibatan penyandang disabilitas dalam upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana mulai sebelum terjadi bencana hingga setelah bencana terjadi. Selanjutnya diharapkan dapat menjembatani kebutuhan dan kepentingan penyandang disabilitas terhadap bencana.

 

B.     Terminologi Disabilitas: Sebuah Perdebatan

Di tiap Negara, penyandang kecacatan didefinisikan dan diekspresikan secara berbeda tergantung konteks yang digunakan. Di Indonesia, kita mengenal tiga istilah untuk mengungkapkan kecacatan, yaitu difabel, penyandang cacat, dan penyandang disabilitas. Hal ini terkait dengan kenyamanan dan harga diri penyandang cacat. Melalui peraturan perundangan yang disahkan tahun 1997, yaitu UURI Nomor 4 tahun 1997, digunakan istilah Penyandang Cacat, yaitu setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; (c) penyandang cacat fisik dan mental (Pasal 1: 1).

Dalam perkembangannya, muncul istilah difabel untuk menggantikan istilah penyandang cacat. Difabel merupakan akronim dari different ability yang berarti orang yang memiliki perbedaan kemampuan. Mansoer Fakih adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah difabel pada tahun 1996, baginya kaum difabel bukanlah cacat, melainkan berbeda kemampuan. Perbedaan ini tentu saja merupakan anugerah Tuhan sehingga tidak ada istilah cacat, tidak normal, dan tidak sempurna. Sejalan dengan Mansoer Fakih, Setia Adi Purwanta juga menggunakan istilah difabel, yang menilai bahwa cacat merupakan rekayasa dan konstruksi ketidakadilan sosial yang “sengaja” dibangun melalui system kekuasaan, baik kuasa melalui jalur struktural maupun kultural (Muhammadun, 2011).

Penggunaan istilah difabel tidak lepas dari pro dan kontra. Mereka yang kontra berpendapat bahwa kata tersebut hanya sebuah euphemism, tidak kontekstual, dan susah dicerna bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kata cacat dinilai lebih tegas, lugas, dan jelas dibandingkan difabel yang dianggap tidak memiliki definisi dan kriteria yang jelas, bias antara pemaknaan luas dan sempit. Dimaknai secara luas karena perbedaan kemampuan menjadi sangat luas termasuk dalam kemampuan bakat, terlepas memiliki kekurangan fisik ataupun tidak. Sedangkan dimaknai secara sempit jika yang dimaksud difabel hanya sebatas tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, dan tuna grahita. Namun bagaimana dengan penderita schizophrenia, multiple sclerosis, atau gangguan organ tubuh lain yang menggangu atau menghambat aktivitas sehari-hari. Selain itu, penggunakan istilah difabel dianggap mengingkari pengalaman pribadi sebagai penyandang cacat. Kata difabel dimaknai dengan berbeda kemampuan akan mereduksi pengalaman personal tersebut, karena fokus perhatiannya pada kemampuan yang berbeda bukan pada kecacatan itu sendiri. Menjadi tidak adil saat difabel tidak mampu melakukan apa-apa dan menggantungkan hidupnya pada orang lain, padahal masyarakat menuntut difabel sebagai orang yang menginspirasi banyak orang dengan perbedaan kemampuannya (Bahrul, 2010).

Istilah lain yang kemudian mengemuka adalah Penyandang Disabilitas. Istilah ini muncul melalui lokakarya yang diselenggarakan Kementerian Sosial RI tanggal 31 Maret 2010. Istilah ini disepakati untuk menggantikan kata penyandang cacat. Kesepakatan untuk menggunakan istilah penyandang disabilitas didasarkan pada 15 alasan, yaitu:

  1. Mendeskripsikan secara jelas subjek yang dimaksud dengan istilah
  2. Mendeskripsikan fakta nyata
  3. Tidak mengandung unsur negatif
  4. Menumbuhkan semangat pemberdayaan
  5. Memberikan inspirasi hal-hal positif
  6. Istilah belum digunakan oleh pihak lain mencegah kerancuan istilah
  7. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian
  8. Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara tepat
  9. Bersifat representatif untuk kepentingan reatifikasi konvensi
  10. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional
  11. Memperhatikan prespektif linguistik
  12. Sesuai prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia
  13. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis
  14. Menggambarkan adanya hak perlakuan khusus
  15. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat

Penggunaan istilah penyandang disabilitas ini sesuai dengan Konvensi Hak Penyandang Cacat (CRPD) yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada tanggal 30 Maret 2007 dan diratifikasi pada tanggal 30 November 2011. Dengan penandatanganan CRPD, Pemerintah Indonesia diharapkan tidak melakukan tindakan yang melanggar objek dan tujuan CRPD, dan setelah diratifikasi, Indonesia secara hukum terikat untuk mematuhi ketentuan yang tercantum (Agenda, 2011).

 

C.     Penyandang Disabilitas

Istilah disabilitas secara terus menerus berkembang, baik itu pandangan maupun pendekatan pengembangannya. Terminologi yang digunakan juga berbeda pada tiap Negara dan wilayah. Ekspresi yang tidak sesuai atau bahkan menghina harus di hindari, meskipun jika hal tersebut masih digunakan pada instansi pemerintah.

Disabilitas diartikan sebagai hasil dari interaksi antara orang dengan malfungsi organ tubuh, sikap, dan batasan lingkungan yang menghalangi mereka untuk secara penuh dan efektif berpartisipasi dalam masyarakat setara dengan orang lain. Malfungsi organ tubuh atau impairment adalah masalah pada fungsi atau struktur tubuh yang secara signifikan terganggu atau bahkan hilang, misalnya fungsi tubuh, fungsi mental, fungsi sensor dan rasa sakit, fungsi suara dan kemampuan berbicara, fungsi kardiovaskular, amputasi, ataupun penyakit-penyakit lainnya (Schranz, dkk, 2009). Kemudian yang disebut dengan penyandang disabilitas adalah mereka yang dalam jangka panjang mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas selalu berinteraksi dengan pandangan dan sikap serta batasan-batasan lingkungan yang antaranya lingkungan alam, etika dan norma, kepercayaan, kebiasaan, kebijakan, hukum, sumberdaya keuangan, dogma, dan lain-lain.

Disabilitas fisik, mental, atau fisik/mental memiliki gangguan tertentu sebagai akibat dari terdapat bagian, peralatan, sistem syaraf, struktur tulang, sendi, dan otot, serta metabolisme tubuh yang tidak/kurang mampu difungsikan sebagaimana mestinya. Penyebabnya dapat karena faktor internal seperti penyakit, genetik/keturunan ataupun faktor eksternal seperti kecelakaan, bencana alam, dan kelalaian manuasia. Di Indonesia, terdapat dua jenis pendefinisian disabilitas yaitu secara medis dan hukum (JICA, 2002). Secara hukum, disabilitas didefinisikan seperti pada UURI Penyandang Cacat yang membagi disabilitas menjadi tiga yaitu disabilitas fisik, mental, dan gabungan fisik-mental. Secara hukum, gangguan mental adalah mereka yang secara intelektual terganggu dan mengalami gangguan tingkah laku baik itu bawaan maupun disebabkan oleh suatu penyakit. Secara hukum juga dijelaskan bahwa orang dengan disabilitas mental disebabkan faktor intrinsik dan ekstrinsik yang menghalangi pertumbuhan secara normal dan baik, hal ini kemudian menyebabkan ketidakmampuan intelektual, kurangnya kemauan, akal, penyesuaian sosial, dan kesulitan lainnya.

Secara medis (JICA, 2002), disabilitas dikelompokkan menurut jenis kekurangan yang dialami yaitu fisik, visual, pendengaran, intelektual, kejiawaan, dan gabungan. Disabilitas fisik yaitu mereka yang menderita ke kekurangan motorik dari bagian tubuh termasuk tulang, otot, dan gabungan dari struktur dan fungsi sehingga mereka tidak dapat melakukan aktivitas secara normal. Disabilitas visual yaitu mereka yang secara visual tidak dapat menghitung objek dari jarak satu meter. Menurut WHO, disabilitas visual adalah orang yang tidak menghitung jari dari jarak tiga meter atau lebih. Disabilitas pendengaran yaitu orang yang mengalami gangguan pendengaran dan fungsi bicara sehingga ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Disabilitas intelektual yaitu orang yang menderita penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan mental yang terjadi pada masa kehamilan ataupun saat masih anak-anak dimana gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, organis, ataupun fungsional. Disabilitas kejiwaan  adalah orang yang menderita gangguan kejiwaan dikarenakan faktor biologis, organis atau fungsional yang menyebabkan perubahan pola pikir, suasana hari, ataupun tindakan. Sedangkan disabilitas gabungan adalah orang yang menderita gangguan fisik, mental, atau penyimpangan emosi sehingga membutuhkan perawatan yang intensif dan menyeluruh.

Walaupun penyandang disabilitas didefinisikan sebagai orang yang memiliki kekurangan dan keterbatasan, penyandang disabilitas juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama dengan orang tanpa disabilitas. Mereka memiliki kapasitas, kemampuan, dan ide-ide yang dapat mendukung pembangunan dan kesejahteraan sosial. Konsorsium Nasional Untuk Hak Difabel Indonesia melakukan analisis terhadap kebijakan nasional yang berkaitan dengan penyandang disabilitas dan realitas hidup sehari-hari para penyandang disabilitas. Analisa ini dilakukan berdasarkan pasal-pasal dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) untuk menemukan permasalahan yang masih ada, dengan harapan dapat memberikan pemahaman bahwa masih ada kesenjangan antara Konvensi yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia pada tanggal 10 November 2011 ke dalam Undang-undang nomor 19 tahun 2011 dengan upaya pemajuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia.

Analisis masalah dan rekomendasi dikelompokkan ke dalam delapan ranah penting dalam hidup sehari-hari penyandang disabilitas yang termaktub dalam CRPD, yaitu mobilitas; bencana alam (situasi darurat); rehabilitasi, habilitasi, jaminan sosial; informasi dan komunikasi; pendidikan; kesehatan; ketenagakerjaan; dan olahraga, budaya, rekreasi dan hiburan. Ranah-ranah tersebut telah diatur dalam peraturan perundangan dan kebijakan di Indonesia namun masih belum menyeluruh, tidak konsisten, bahkan belum memiliki perspektif hak penyandang disabilitas. Dalam penanggulangan bencana, Indonesia dinilai belum melibatkan secara penuh penyandang disabilitas dalam perencanaan dan pelatihan khususnya disaster risk management and disability risk reduction program.

 

D.    Penanggulangan Bencana berbasis Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas sangat rentan saat terjadi bencana. Kerentanan sosio-ekonomi dan fisik membuat mereka lebih rawan terhadap bencana. Namun disayangkan, penyandang disabilitas cenderung diabaikan dalam sistem kesiapsiagaan dan registrasi keadaan darurat. Penyandang disabilitas seringkali tidak diikutsertakan dalam usaha-usaha kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Hal ini menyebabkan mereka kekurangan kesadaran dan pemahaman terhadap bencana serta bagaimana mengatasinya. Dikarenakan keterbatasan kemampuan fisik; bantuan mobilitas atau pendampingan yang tepat, penyandang disabilitas seringkali sangat kekurangan pertolongan dan pelayanan evakuasi; akses kemudahan, lokasi pengungsian yang baik, air dan sanitasi serta pelayanan lainnya. Kondisi emosional dan trauma akibat bencana selama situasi krisis terkadang berakibat fatal dan jangka panjang bagi penyandang disabilitas. Kesalahan interpretasi atas situasi dan gangguan komunikasi membuat penyandang disabilitas lebih rentan pada saat situasi bencana.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pencantuman kebutuhan dan aspirasi penyandang disabilitas disemua tahap manajemen bencana, khususnya perencanaan dan kesiapsiagaan, secara signifikan dapat mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan efektivitas usaha tanggap darurat dan recovery yang dilakukan pemerintah (United Nations, 2012). Pelibatan penyandang disabilitas dalam perencanaan dalam rangka menanggulangi bencana menjadi penting karena mereka lebih tahu kebutuhan mereka sendiri. Penyandang disabilitas, walaupun merupakan kelompok rentan, berhak dan pantas untuk berada di lini depan usaha pengurangan risiko bencana melalui pendekatan inklusif dan menyeluruh untuk mengurangi kerentanan bencana.

Perlu diperhatikan, bahwa bencana alam memunculkan kelompok penyandang disabilitas, yaitu korban luka dan/atau malfungsi organ tubuh yang akan mengalami disabilitas apabila tidak ditangani dengan baik; penyandang disabilitas sebelum bencana; dan orang dengan malfungsi organ tubuh sebelum bencana yang akan mengalami disabilitas bila akses dan sarana prasarana kesehatan mereka rusak akibat bencana. Kelompok tersebut mengalami persoalan yang hampir sama dalam situasi bencana, saat fasilitas dan penanganan yang diperoleh tidak tepat dengan kebutuhan mereka sehingga penderitaan dan kerentanan yang dialami menjadi berlipat jika dibanding korban bencana lain.

Penghargaan hak-hak asasi manusia penyandang disabilitas haruslah tercermin dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam usaha manajemen penanggulangan bencana (Njelesani dkk, 2012) . Hal tersebut dalam dilakukan melalui:

  1. Membuat kesepakatan dengan penyandang disabilitas, secara teratur meninjau ulang komitmen tersebut
  2. Melibatkan penyandang disabilitas pada posisi kepemimpinan dan proses perumusan kebijakan
  3. Melatih staf dan pegawai dalam menghadapi dan menangani penyandang disabilitas
  4. Membangun sebanyak mungkin desain bangunan dengan prinsip-prinsip yang universal, misalnya jalan yang landai di fasilitas umum seperti terminal, bandara, stasiun, dan jalan umum lainnya.

Dalam menangani kerentanan fisik, banyak cara mudah dan murah dapat dilakukan. Pertama dengan mengindentifikasi penyandangnya, jenis disabilitasnya, dan bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan risiko bencana. Langkah selanjutnya adalah dengan meningkatkan kesadaran penyandang disabilitas terhadap risiko yang mereka hadapi dan cara menghadapinya, meningkatkan keamanan rumah dan tempat kerja, menindahkan mereka ke tempat yang aman saat terjadi bencana, dan memenuhi kebutuhan khusus mereka setelah keadaan darurat. Dalam menghadapi bencana, metode yang digunakan terutama dalam mengkomunikasikan risiko dan sistem peringatan dini adalah berbeda pada tiap jenis disabilitas. Kekhususan dan kompleksitas yang dimiliki tiap jenis disabilitas membuat penanganan dan kebutuhan mereka spesifik pula. Tabel 1 menunjukan sistem peringatan yang disesuaikan dengan jenis disabilitas yang umum.

Dari Tabel 1 diketahui bahwa harus disediakan format auditori dan visual dalam sistem peringatan dini untuk mencakup semua kalangan dan semua jenis disabilitas yang ada. Pemberitahuan secara door to door juga diperlukan untuk mengidentifikasi kerentanan dan kapasitas masyarakat termasuk penyandang disabilitas secara sekaligus (melalui pendekatan VCA). Sistem peringatan dini penyandang disabilitas secara inklusif diperlukan dalam tahap persiapan oleh penyandang disabilitas itu sendiri.

 

 

 

 

Tabel

Jenis Disabilitas dan Sistem Peringatan Bencana

Jenis Disabilitas Kebutuhan Sistem Peringatan Bencana
Kecacatan/Gangguan Visual ·     Landmarks/Petunjuk

·     Hand-rails

·     Dukungan personal

·     Pencahayaan yang baik

·     Antrian terpisah

·     Sistem Sinyal Berbasis Suara/Alarm

·     Pengumuman lisan

·     Poster yang ditulis dengan huruf yang besar dan warna yang mencolok

Kecacatan/Gangguan Pendengaran ·     Bantuan penglihatan

·     Komunikasi dengan gambar

·     Antrian terpisah

·     Sistem Sinyal Berbasis Visual: simbol, bendera merah, dll

·     Gambar

·     Sinyal kedip lampu

Kecacatan/Gangguan Mental ·     Berbicara pelan

·     Bahasa yang sederhana

·     Dukungan personal

·     Antrian terpisah

·     Sinyal khusus: simbol, bendera merah, dll

·     Pengumuman yang jelas dan lengkap oleh tenaga siaga bencana

Kecacatan/Gangguan Fisik ·     Baju hangat/selimut

·     Kasur, tempat kering, alat higienis

·     Dukungan personal

·     Alat bantu

·     Sarana publik yang dimodifikasi (pegangan tangan, jalan landai)

·     Antrian terpisah

·     Sistem Sinyal berbasis Suara/Alarm

·     Pengumuman lisan

Sumber: Handicap International, 2005

Banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada saat keadaan bencana, terutama pada saat tanggap darurat, termasuk pencarian, penyelamatan, dan evakuasi korban bencana khususnya penyandang disabilitas.

  1. Berfokus pada korban luka/cedera dikarenakan berisiko mengalami disabilitas sementara ataupun permanen
  2. Penyandang disabilitas harus disertakan dalam kegiatan pencarian, penyelamatan, dan evakuasi namun dengan kebutuhan khusus
  3. Penyandang disabilitas berisiko mendapatkan cedera, terperangkap, terjebak, dan lain lain karena kurangnya kemampuan mereka untuk mengantisipasi dan bereaksi
  4. Berfokus pada penyandang disabilitas yang sendirian dan belum memperoleh bantuan
  5. Mengidentifikasi penyandang disabilitas
  6. Personil pencarian, penyelamatan dan evakuasi harus memiliki pengetahuan tentang cara adaptasi teknik pencarian dan penyelamatan untuk menangani penyandang disabilitas sesuai dengan jenis disabilitas.

Keterbatasan fisik yang mereka alami, menyebabkan mereka membutuhkan pelayanan atau fasilitas khusus yang mendukung mobilitas mereka pada saat terjadi bencana. Diperlukan desain-desain bangunan berbasis disabilitas di bangunan sekolah, kantor, rumah sakit, taman, jembatan, dan jalan umum. Misal dengan jalur khusus pegangan tangan, menghindari jalan berundak, melengkapi jalan dengan penunjuk arah bagi penderita low vision ataupun tuna netra. Pelatihan dan bimbingan penanganan penyandang disabilitas pada saat dan setelah bencana menjadi hal yang mutlak selain pelibatan mereka dalam perencanaan upaya persiapan dan mitigasi bencana. Pelibatan penyandang disabilitas ke dalam sistem dan proses penanggulangan bencana, tentu tidak dapat dicapai apabila tidak ada kerjasama dan niat baik dari semua pihak: masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Hal ini dikarenakan pemenuhan kebutuhan dan pengarusutamaan penyandang disabilitas dalam tata kelola pemerintahan (good governance) membutuhkan koordinasi dari semua pihak. Pengubahan pola pikir dan cara pandang terhadap penyandang disabilitas harus diawali dari hal-hal kecil. Misalnya dalam proses perencanaan pembangunan, pemetaan kebutuhan, dan pemecahan masalah dalam situasi apapun, termasuk situasi darurat bencana. Selain itu diperlukan pula upaya pemberdayaan penyandang disabilitas melalui peningkatan pengetahuan dan pendidikan inklusi bagi penyandang disabilitas, pemberian akses pada pekerjaan dan penghidupan yang layak, pemberian akses untuk berpolitik, dan lain-lain.

 

E.     Penutup: Gagasan Akhir

Diskriminasi atau mengeluarkan penyandang disabilitas dalam kegiatan penanggulangan bencana menyebabkan tingginya kerugian dan korban, baik itu luka maupun kematian. Sebagai kelompok yang paling rentan terhadap bencana, ternyata mereka tidak ditangani dengan baik karena minimnya pengetahuan tentang penanganan penyandang disabilitas pada saat ataupun sesudah bencana, selain itu adanya anggapan remeh terhadap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang kekurangan dan lemah. Proses diskriminasi penyandang disabilitas yang telah berlangsung lama menyebabkan rantai kemiskinan yang sulit diurai.

Keterbatasan akses yang dimiliki semakin mempersulit mereka untuk berkembang dan ikut dalam proses pembangunan. Kerentanan penyandang disabilitas menjadi masalah yang kompleks antara keterbatasan/kekurangan fisik, pengetahuan yang rendah, dan kemiskinan. Pelibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan penanggulangan bencana akan lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan penyandang disabilitas dan tertanganinya mereka pada saat bencana terjadi. Namun harus disadari, bahwa pelibatan penyandang disabilitas dalam upaya penanggulangan bencana bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan kemampuan teknis, pengetahuan, dan niat baik dari pihak yang terlibat di dalamnya. Pengarusutamaan penyandang disabilitas dalam semua aspek pelayanan sosial dan program pembangunan kesejahteraan sosial harus diwujudkan tidak hanya dibicarakan. Pengarusutamaan tidak hanya masalah pemenuhan hak asasi manusia, namun juga melalui program dan kebijakan efektif mulai tahap sebelum sampai sesudah bencana itu terjadi disesuaikan dengan tipe atau jenis disabilitas yang ada.

 

F.      Rekomendasi

Banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka memberikan kesempatan penyandang disabilitas dalam upaya penanggulangan bencana. Hal mudah yang dapat dilakukan adalah dengan menumbuhkan pengetahuan mengenai penyandang disabilitas dan kebutuhan khusus mereka pada pemangku kepentingan dan juga masyarakat. Melalui kegiatan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan diharapkan masyarakat lebih mengenal dan menerima penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari.

Peningkatan partisipasi penyandang disabilitas dalam program pengurangan risiko harus terus digalakkan dalam bentuk kebijakan dan kegiatan pengurangan risiko bencana dengan masyarakat yang lain. Pembuatan program pengurangan risiko yang memperhitungkan kebutuhan khusus penyandang disabilitas harus menggunakan media yang aksesibel pula bagi penyandang disabilitas tentunya disesuaikan dengan jenis disabilitas dialami.

Upaya pengurangan risiko bencana dapat dimulai dengan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus di SLB melalui penyuluhan, sosialisasi, dan praktek simulasi evakuasi bencana, atau dalam tindakan yang lebih lanjut dengan memasukkan manajemen risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah baik sekolah biasa maupun sekolah luar biasa.

Upaya evakuasi atau penyelamatan penyandang disabilitas harus disesuaikan dengan hambatan yang dialami oleh mereka, penyediaan fasilitas fisik dan non fisik salah satunya. Pelibatan keluarga menjadi penting karena keluarga adalah orang terdekat dan terpercaya oleh penyandang disabilitas, sehingga peran mereka menjadi penting. Pelatihan penyelamatan penyandang disabilitas haruslah diikuti oleh pihak keluarga.

Pembuatan basis data yang akurat dan up to date penting dilakukan sebagai dasar assessment kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri. Perlu adanya kerjasama lintas sektoral dari Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, serta pihak LSM dalam rangka menghasilkan data disabilitas yang akurat dan tidak simpang siur antar lembaga/organisasi.

Penguatan kapasitas juga dapat dilakukan melalui penguatan sosial ekonomi penyandang disabilitas. Pemberian program padat karya, pemberian pendidikan vokasional dan persiapan dunia kerja, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja penyandang disabilitas dapat menjadi pilihan dalam rangka pengurangan risiko bencana penyandang disabilitas.

 

G.    Daftar Pustaka

Agenda, 2011. Disabilitas di Negara-negara Asia Tenggara. (http://www2.agendaasia.org/index.php/id/informasi/disabilitas-di-negara-negara-asean/103-disabilitas-di-negara-negara-asia-tenggara, diakses November 19, 2012).

Bahrul, Fuad, 2010. Difabel dan Bencana Alam. (http://cakfu.info/2010/08/difabel-sebuah-simbol-perlawanan-idiologis/, diakses November 12, 2012).

Handicap International. (2005). How To Include Disability Issues in Disaster Management. Dhaka: Handicap International Bangladesh.Handicap International-Philippines Program. A Basis Guide To Disability and Disaster Risk Reduction. Makati City: Handicap International.

Japan International Cooperation Agency, 2002. Country Profile on Disability: Republc of Indonesia. Tokyo: Planning&Evacuation Department Japan JICA

Kementerian Sosial RI, 2010. dari Seminar Menyambut Hari Penyandang Cacat Internasional 2010: (http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1097, diakses November 12, 2012).

Kementerian Kesehatan RI, 2002. Pedoman Pemeriksaan dan Kemampuan Fungsional Penyandang Cacat. Dalam JICA, Country Profile on Disability: Republic of Indonesia (hal. 8). Tokyo: Planning&Evacuation Department of JICA.

Malteser International, 2012. Relief Organisations launch Disability Inclusive DRR Network: (www.malteser-international.org/en/home/press/article/article/7552/16914.html, diakses November 12, 2012)

Muhammadun, A.S., 2011. Difabel dan Konstruksi Ketidakadilan Sosial. (budisansblog.blogspot.com/2011/12/difabel-dan-konstruksi-ketidakadilan.html, diakses November 12, 2012)

Njelesani, J., Cleaver, S., Tataryn, M., & Nixon, S, 2012. Using a Human Rights-Based Approach to Disability in Disaster Management Initiatives. Dalam D.S. Cheval (Ed), Natural Disasters (hal. 21-46). Rijeka: InTech.

Republik Indonesia, 1997. Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670

Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723

Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251

Sahabat, 2011. Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Yang Inklusif dan Berkelanjutan. Newsletter Publication . Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia: ASB Indonesia and HI Federation Program.

Schranz, B., Ulmasova, I., & Silcock, N., 2009. Mainstreaming Disability Into Disaster Risk Reduction: A Training Manual. Nepal: Handicap International.tribunjogja.com. (2012). Dipetik November 12, 2012, dari Kami Paling Berisiko Kena Dampak Bencana: http://jogja.tribunnews.com/2012/10/24/kami-paling-berisiko-kena-dampak-bencana/

United Nations, 2012. Disability, Natural Disasters and Emergency Situations. dari UN Enable: (www.un.org/disabilities/default.asp?id=1546, diakses November 19, 2012)

 

 

About the Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these