Pekerjaan Sosial Dengan Disabilitas Di Indonesia

Enung Huripah

Fungsional Dosen Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung Jl. Ir. H. Juanda No. 367 Bandung

Pendahuluan

Sebagaimana warga negara pada umumnya penyandang disabilitas (kecacatan), yang sering  juga  disebut  Orang  dengan Disabilitas memiliki kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aspek dimaksud bukan semata permasalahan rehabilitasi sosial atau bantuan sosial, tetapi menyangkut segala aspek kehidupan yang menyangkut hak penyandang disabilitas. Perhatian terhadap penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab dan melibatkan semua pihak , baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Hal ini menunjukkan bahwa “Masalah disabilitas masih dianggap sebagai permasalahan yang urgen untuk ditangani. Perhatian bagi penyandang           disabilitas masih perlu ditingkatkan, terutama pada pelayanan aksesibilitas dalam berbagai fasilitas pelayanan dasar dan perlakuan diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung.

Penyandang disabilitas pada dasarnya kondisi kehidupannya sama dengan manusia lainnya, mereka memiliki pikiran, aspirasi, dan perasaan ingin dicintai, ingin beprestasi, dan berhak atas hak-hak nya sebagaimana warga negara lainnya. Oleh karena keterbatasannya, penyandang disabilitas membutuhkan upaya untuk dapat mencapai hak dasarnya tersebut, juga mereka memiliki kebutuhan atas pelayanan dan rehabilitasi sosial, serta pemberdayaan atas potensi yang dimilikinya agar dapat menjalankan fungsi sosialnya.

Permasalahan penyandang disabilitas, semakin kompleks dan menuntut adanya penanganan atau intervensi pekerjaan sosial karena berbagai pengaruh yang kemungkinan bisa terjadi. Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain:

1) Kehidupan modern sangat berpengaruh pada disabilitas, kemajuan teknologi, arus komunikasi tanpa hambatan menyebabkan informasi dari berbagai arah cepat diterima, 2) Komunikasi antar disabilitas antar pribadi , dan secara organisasi relatif lebih lancar yang berpengaruh pada gaya hidup, perilaku penyandang disabilitas untuk mandiri, bebas dari ketergantungan terhadap orang lain (independent living), dan 3) perilaku orang modern yang tidak jarang menyebabkan disabilitas; antara lain: a) Kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji, b) Pengasuhan anak diserahkan pada pihak lain, c) Perilaku seks bebas, d) Penyalagunaan narkoba, e) Perilaku kerja yang tidak aman, serta f) Cara mengendarai kendaraan.

Dengan demikian kecenderungan untuk terjadinya disalibitas sangat dimungkinkan dengan berbagai kecenderungan (trend) tersebut, baik trend secara kuantitas maupun trend secara kualitas kecacatannya. Trend kuantitas disabilitas, yaitu bahwa jumlah penyandang disabilitas (Orang dengan Disabilitas ) kecenderungan meniningkat. Di dunia saat ini lebih dari 650 juta orang dan akan terus bertambah karena berbagai situasi dan kejadian yang membuat orang menjadi penyandang disabilitas (Asha-Rose Migiro, 2007). Adapun populasi penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan SUSENAS 2003 (BPS) Orang dengan disabilitas 1.478.667 dan

pada tahun 2009 (BPS) menjadi 2.126.785 orang.

Trend Kualitas disabilitas, bahwa secara kualitas merujuk pada Pemberdayaan Penyandang disabilitas, trend tersebut antara lain: a) munculnya kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap penyandang. kondisi ini ditandai dengan tumbuhnya lembaga swadaya masyarakat yang memberikan pelayanan kepada disabilitas, b) meningkatnya tuntutan aksesibilitas disabilitas, c) adanya variasi pekerjaan pada disabilitas, dan d) meningkatnya tuntutan kesetaraan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.

Sehubungan dengan hal tersebut, profesi pekerjaan sosial menjadi penting artinya dan memliki tanggung jawab professional dalam penanganan atau intervensi terhadap penyandang disabilitass. Oleh karena itu dalam menangani masalah disabilitas pekerjaan sosial memiliki prisip-prinsip dang peranan yang strategis melalui intervensi pekerjaan sosial baik secara mikro, meso maupun makro yang berkaitan dengan kebijakan sosial.

Pekerjaan sosial sebagai profesi pertolongan kemanusiaan memiliki akses dan peran dalam pemberian pelayanan sosial terhadap penyandang disabilitas. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas merupakan salah satu bidang pelayanan pekerjaan sosial, dimana pekerjaan sosial menempatkan disabilitas dalam konteks yang kompleks dari keberadaannya. Kondisi kecacatannya, permasalahan sosialnya baik permasalahan yang bersifat individual maupun masalah yang bersifat pada kebijakan yang menyangkut hak penyandang disabilitas sampai pemberian pelayanan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan bagi penyandang disabilitas, ditujukan agar dapat mencapai keberfungsian sosial .

Sebagai salah satu sasaran profesi pekerjaan sosial, penyandang disabilitas menjadi bagian yang penting dalam perspektif pekerjaan sosial karena disabilitas tergolong dalam anggota masyarakat yang kurang beruntung (disadvantage group) atau minority group. Oleh karena itu kebedaan penyandang disabilitas mengalami berbagai masalah

sebagaimana dijelaskan di atas. Kondisi tersebut membutuhkan penanganan yang serius termasuk penanganan atau intervensi dari profesi pekerjaan sosial.

Tugas utama profesi pekerja sosial adalah membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk berfungsi sosial (social functioning). Keberfungsian sosial dipahami sebagai sebuah kondisi dimana individu, kelompok dan masyarakat puas dengan dirinya sendiri, tugas dengan peran dalam kehidupannya dan puas dengan hubungnnya dengan orang lain (Thakeray, Faley & Skidmore, 1994). Keberfungsian sosial (social functional) tersebut merujuk pada kemampuan memenuhi kebutuhan, kemampuan untuk memecahkan masalah, dan kemampuan untuk dapat melaksanakan peran sesuai dengan statusnya. Segitiga keberfungsian sosial (social functioning) inilah yang melandasi praktek pekerjaan sosial dalam berbagai konteks intervensi (mikro, meso dan makro).

Dalam perspektif ini penyandang disabilitas dipandang sebagai situasi dimana individu mengalami keterbatasan dan rawan, mal- adaptif keberfungsian sosial. Dimana hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu sistem atau populasi yang diperkirakan tidak mampu memanfaatkan sumber sumber personal, interpersonal dan kelembagaan ketika menghadapi kerusakan fisik, emosional dan sosial secara optimal dikarenakan berbagai faktor. Pada focus inilah, praktek pekerjaan sosial berfungsi untuk mengembalikan kemampuan individu (penyandang disabilitas) agar kembali mampu mengakses sumber daya personal, interpersonal dan sosial dalam mengatasi atau mengurangi masalah yang terkait dengan keterbatasan dan ketidakmampuannya.

Pengertian Disabilitas

Istilah “disabilitas” bagi sebagian besar masyarakat Indonesia kemungkinan belum dikenal (familiar), berbeda dengan istilah “penyandang cacat” sebagaimana yang tercantum pada Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat. Disabilitas

merupakan kata bahasa Indonesia berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap normal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan membaik atau memburuk. Dapat timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologis pada cacat fisik dan sensorik.

Sejalan dengan semangat Undang-undang Nomor 19 tahun 2011 terminologi baru mengganti istilah penyandang cacat menjadi “Penyandang Disabilitas”, dengan terbitnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 Pengesahan CRPD. Hal ini merupakan tonggak penting dalam memperkuat pemajuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) adalah sebagai penguatan komitmen negara dalam memberikan jaminan perwujudan hak asasi manusia bagi setiap warga negaranya dan secara khusus dan rinci konvensi ini menegaskan hak-hak yang dimiliki penyandang disabilitas dan tanggung jawab Negara untuk mewujudkannya.

Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 disebutkan tentang “Penyandang Cacat”. Penyandang cacat seakan subyek hukum yang dipandang kurang diberdayakan. Istilah “Cacat” berkonotasi sesuatu yang negatif. Kata “penyandang” memberikan predikat kepada seseorang dengan tanda atau label negatif yaitu cacat pada keseluruhan pribadinya. Namun kenyataan bisa saja seseorang penyandang disabilitas hanya mempunyai kekurangan fisik tertentu, bukan disabilitas  secara  keseluruhan. Untuk itu istilah “cacat” dirubah menjadi “disabilitas” yang lebih berarti ketidakmampuan secara penuh.

Disabilitas adalah suatu istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan

pembatasan partisipasi. Gangguan adalah suatu masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat tinggal mereka.

Disabilitas terdiri atas jenis-jenisnya, disabilitas pada dasarnya masuk ke dalam kategori yang jamak digunakan, seperti orang yang kehilangan anggota tubuh, pengguna kursi roda, tunarungu atau tunanetra, dan mereka yang memiliki kesulitan berbicara. Disabilitas tidak hanya meliputi kecacatan yang terlihat, tapi juga setiap jenis kecacatan yang menghambat kegiatan seseorang sehari- hari.

Dalam laporan ESCAP disebutkan bahwa jenis-jenis kecacatan adalah disabilitas fisik, sensori, dan intelektual, disabilitas psikososial dan disabilitas yang tak terlihat, seperti kesulitan berbicara dan gangguan perkembangan. ICF menggabungkan model sosial dan medis, mengukur keberfungsian individu kedalam enam wilayah, yaitu: kognisi (memahami dan komunikasi), gerak (kemampuan untuk bergerak dan bepergian), pemeliharaan diri (kemampuan untuk menjaga kebersihan diri, berpakaian, makan, dan hidup mandiri), bergaul (kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain), kegiatan sehari-hari (kemampuan untuk memikul tanggung jawab di rumah, sekolah, dan pekerjaan), partisipasi dalam masyarakat (kemampuan untuk terlibat dalam kegiatan di masyarakat, umum, dan rekreasi).

Dalam istilah yang lebih umum, laman Disabled World (http://www.disabled-world.com) memberikan delapan kategori disabilitas: hambatan gerak dan fisik, disabilitas tulang belakang, disabilitas cedera kepala-otak, disabilitas penglihatan, disabilitas pendengaran, disabilitas kognitif atau belajar, gangguan psikologis, disabilitas tak terlihat.

Namun demikian kiranya sampai saat ini jenis- jenis disabilitas masih mengacu pada Undang- undang nomor 7 tahun 1997 tentang Penyandang “Cacat” (Disabilitas) menjelaskan bahwa:

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:

a. Penyandang cacat fisik; b. Penyandang cacat mental; c. Penyandang cacat fisik dan mental.

Hak dan Kebutuhan Penyandang Disabilitas

Hak penyandang disabilitas adalah sebagaimana yang dimuat dalam Konvensi Perlindungan Penyandang Disabilitas. Pada tanggal 30 Maret 2007 lalu lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah. menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Konvensi ini telah disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam sidang ke-61, tanggal 13 Desember lalu.

Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang disabilitas untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya. Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi, yaitu a) menghormati harkat dan martabat Penyandang Disabilitas, b) non- diskriminatif, c) partisipasi penuh, d) aksedibilitas, serta e) penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan Penyandang Disabilitas sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan.

Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang disabilitas yang termuat di dalamnya; juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan

bahwa penyandang disabilitas harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak- haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya. Konvesi ini sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang disabilitas dari yang bersifat remedial dan belas kasihan (charity), hak asasi manusia.

Dampak dari ini berharap konvesi tersebut dapat membawa perubahan pada penyandang disabilitas terciptanya masyarakat yang tidak diskriminasi dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan bidang kehidupan lainnya, termasuk informasi dan lingkungan fisik yang bebas hambatan bagi semua, kesamaan untuk mendapatkan jaminan hukum dan inklusif secara penuh dalam masyarakat dengan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, lokasi tempat tinggal dan jenis kecacatan.

Sehubungan dengan hal tersebut penyandang disabilitas memiliki kebutuhan. Kebutuhan penyandang disabilitas tidak hanya pangan, sandang dan papan hingga pekerjaan. Masih banyak penyandang disabilitas yang merasa didiskriminasikan ketika akan memasuki bank, hotel atau kantor-kantor pemerintahan sekalipun. Bangunan di kantor-kantor masih belum ramah pada penyandang disabilitas karena tidak dilengkapi dengan ramp atau jalur khusus untuk penyandang disabilitas terutama pemakai kursi roda. Fasilitas lain yang cukup dibutuhkan oleh penyandang disabilitas terutama tuna netra adalah guiding block di trotoar. “Belum semua trotoar memiliki guiding block ini. Belum kebutuhan penyandang disabilitas tubuh dan penyandang disabilitas pendengaran. Oleh karena itu kebutuhan penyandang disabilitas dapat dilihan antara lain dari:

1. Kebutuhan Dasar

Sebagaimana manusia pada umumnya penyandang disabilitas memiliki kebutuhan dasar (Basic Needs) yang sama. Kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebuthan dasar dari Abraham Maslow. Menurut Maslow menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam  mempertahankan keseimbangan fisiologi maupun psikologis. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) menyatakan bahwa manusia memiliki 5 (lima) macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan self- actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).

2. Kebutuhan Pendidikan

Penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia juga memiliki kebutuhan akan pendidikan. Dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 alinea keempat dan aturan beberapa batang tubuh secara tegas telah menjamin pemenuhan hak-hak warga negara tidak terkecuali para penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-harinya. Kebutuhan akan pendidikan bagi penyandang disabilitas termasuk kebutuhan pendidikan inklusif, konsep pendidikan inklusif di dunia internasional sebagaimana dijelaskan Pada Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diterbitkan PBB tahun 1948. Deklarasi ini menjamin hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan dan berperan secara penuh di masyarakat.

3. Kebutuhan Pekerjaan

Kebutuhan pekerjaan bagi penyandang disabilitas telah diakomodasi dalam undang- undang yang mengahruskan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas bahwa: ‘setiap perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya satu orang penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk setiap 100 orang pekerja di perusahaannya. “Oleh karena itu, setiap perusahaan baik milik negera maupun swasta agar memberikan kesempatan kerja yang lebih luas bagi para penyandang disabilitas di perusahaannya,”.

Kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas itu dapat disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya. Sedangkan mengenai jumlah kuota penyandang disabilitasnya dapat disesuaikan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan. “Sesuai UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah ditegaskan bahwa Penyandang cacat berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dan mendapat perlakuan yang sama dan tanpa diskriminasi”. Disamping itu pemeberian kesempatan kerja ini harus diikuti dengan memberikan perlindungan kepada tenaga kerja penyandang disabilitas dalam mewujudkan kesejahteraan, dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

4. Kebutuhan Kesehatan

Setiap Penyandang Disabilitas berhak mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan individu penyandang disabilitas. Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan penyandang disabilitas agar kondisi fisik, mental dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar. Penyandang disabilitas tidak dapat diartikan sebagai individu yang tidak sehat jasmani dan

rohani, namun demikian pelayanan kesehatan menjadi penting artnya dalam pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas.Upaya Pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penyandang disabilitas yang didasarkan pada prinsip kemudahan, keamanan, kenyamanan, cepat dan berkualitas.

Pelayanan Kesehatan antara lain meliputi: 1) Upaya kesehatan promotif, 2) Preventif, 3) Kuratif dan rehabilitatif. Adapun pelayanan kesehatan dalam bentuk kegiatan promotif adalah: a) penyebarluasan informasi tentang disabilitas, b) penyebarluasan informasi tentang pencegahan disabilitas, dan c) penyuluhan tentang deteksi dini disabilitas. Pelayanan kesehatan dalam bentuk kegiatan preventif meliputi antara lain: a) pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan yang diberikan kepada penyandang disabilitas selama hidup dengan menciptakan lingkungan hidup yang sehat dengan menyertakan peran serta masyarakat. Sedangkan pelayanan kesehatan dalam bentuk kegiatan kuratif dilakukan melalui a) pemberian pelayanan kesehatan dan pengobatan, b) pelayanan kesehatan dan pengobatan yang dapat dilakukan melalui home care, dan puskesmas keliling yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ditunjuk dalam wilayah kerjanya.

5. Kebutuhan Aksesibilitas

Pelayanan aksesibilitas adalah untuk mendapatkan kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan sarana umum sudah menjadi tuntutan yang wajib dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat. Aksesibilitas menjadi isu yang semakin popular seiring dengan meningkatnya tuntutan dari kalangan penyandang disabilitas untuk memperoleh akses yang sama dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi. Bagi penyandang disabilitas sebagaimana halnya orang-orang yang mampu secara fisik, kemudahan akses terhadap informasi dan komunikasi sangatlah penting, sama halnya dengan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum seperti elevator, memasuki gedung, perjalanan ataupun menggunakan peralatan dengan aman dan mudah.

Mengingat aksesibilitas bukan hanya masalah bagi kalangan penyandang disabilitas dan usia lanjut, siapapun pada setiap tahapan usia dalam hidupnya terkadang mengalami berkurangnya kemampuan aksesibilitas. Ketika hal ini terjadi, aktivitas sehari-hari yang sederhana bisa menjadi hal yang sangat sulit. Standar internasional memberikan panduan bagi produsen dan penyedia jasa tentang bagaimana mendesain produk yang bisa diakses oleh semua kalangan, antara lain seperti: jalur khusus untuk kursi roda yang dirancang dengan baik sesuai dengan standar internasional yang dapat menjadi sangat bermanfaat bagi ibu yang membawa kereta bayi, peralatan dengan saklar yang besar akan memudahkan orang yang tangannya terluka, sensor pembuka/penutup pintu dapat menghindarkan kecelakaan akibat gerakan, dan titik kecil di nomor 5 pada keypad telepon akan memudahkan untuk menemukan nomor lainnya. Hal ini sangat menolong bagi orang yang penglihatannya terganggu.

6. Kebutuhan Rehabilitasi

Pelayanan kesehatan yang dibutuhkan penyandang disabilitas juga yang bersifat rehabilitatif dilaksanakan melalui home care di puskesmas, untuk pelayanan khusus dapat dilayani di rumah sakit umum daerah dan rumah sakit swasta sesuai dengan indikasi medis ynag didukung dengan peran serta penuh dari keluarga dan masyarakat. Kebutuhan rehabilitasi termasuk rehabilitasi sosial ini sangat perlu bagi penyandang disabilitas terutama untuk memulihkan agar penyandang disabilitas dapat menjalankan fungsi sosialnya secara optimal.

Program Penanganan dan Pelayanan Sosial bagi Penyandang Disabilitas untuk kebutuhan rehabilitasi ini, antara lain:

  • Pelayanan dan Rehabilitasi Berbasis Keluarga (Family Based), sistem pelayanan menitikberatkan pada peran keluarga dengan mendayagunakan secara optimal sumber dana, daya, prakarsa, dan potensi keluarga untuk mendukung meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
  •   Pelayanan dan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (Community-Based), sistem pelayanan yang bertumpu pada peran dan pemberdayaan masyarakat, tokoh masyarakat, organisasi sosial, LSM, dan lainnya. Untuk membantu penyandang cacat memenuhi kebutuhan dan haknya.
  •    Sistem Pelayanan Berbasis Panti atau Institusi (Institutional-Based), sistem pelayanan bagi penyandang cacat dalam asrama/ suatu penampungan (panti) dengan berbagai fasilitasnya, meliputi pemberian bimbingan fisik, mental, sosial, intelektual, serta ketrampilan.

7. Kebutuhan Jaminan Sosial

ILO Convension nomor 102 mendefinisikan jaminan sosial sebagai:

Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijaksanaan publik terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh hilangnya sebagian atau seluruh pendapatan akibat berbagai resiko yang diakibatkan oleh sakit, kehamilan, persalinan, kecelakaan kerja, kecacatan, pengangguran, pensiun, usia tua, kematian dini penghasil utama pendapatan, perawatan medis termasuk pemberian santunan kepada anggota keluarga termasuk anak-anak.

Jaminan sosial dapat diwujudkan melalui bantuan sosial dan asuransi sosial. Bantuan Sosial bagi penyandang disabilitas adalah bentuk dukungan pendapatan kepada mereka yang tidak mampu, baik dalam bentuk uang tunai atau pelayanan. Pembiayaan bantuan sosial dapat bersumber dari anggaran negara atau dari masyarakat, yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan negara atau masyarakat. Bantuan sosial diberikan kepada penyandang disabilitas yang betul-betul membutuhkan.

Asuransi sosial adalah bentuk dukungan pendapatan bagi masyarakat pekerja yang dibiayai oleh iuran wajib pekerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama. Asuransi sosial bagi penyandang disabilitas merupakan upaya negara untuk melindungi pendapatan mereka agar mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan mengikutkannya secara

aktif dalam program jaminan sosial dengan membayar iuran. Kepesertaan wajib ditujukan sebagai solusi dari ketidakmampuan penyandang disabilitas dengan melihat risiko masa depan dan ketidakdisiplinan menabung untuk masa depan. Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui asuransi sosial dipandang dapat mengurangi beban negara dalam penyediaan dana bantuan sosial.

  • Kebutuhan Pemberdayaan Pemberdayaan merupakan suatu proses yang pada hakikatnya bertujuan untuk terwujudnya “perubahan“. Pemberdayaan bermanfaat untuk memungkinkan          perkembangan dan penggunaan     bakat     dan/atau     kemampuan terpendam dalam setiap individu. Konsep pemberdayaan bagi penyandang disabilitas disesuaikan dengan kebutuhannya.

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk penanganan terhadap penyandang disabilitas, yaitu :a)

a). Destigmatisasi, pendekatan ini berusaha untuk tidak memberikan stigma, dan bergiat untuk menghilangkan stigma yang diberikan kepada penyandang disabilitas,

b). Deisolasi, pendekatan ini menghindari kegiatan yang akan mengisolasi penyandang disabilitas dari lingkungannya. Sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan lingkungan,

c). Desensitifisasi, pendekatan ini menitikberatkan untuk menghilangkan rasa sensitif atau rendah diri atas kecacatan yang mereka derita,

d). Here and Now (disini dan saat ini), pendekatan ini menyesuaikan ruang dan waktu, dimana dan kapan pelayanan sosial dapat dilaksanakan, sehingga sesuai dengan kebutuhan mereka,

e). Diversifikasi, pendekatan ini mengupayakan untuk meningkatkan mentalitas kemandirian penyandang disablitas, sehingga mereka mampu hidup dan mengembangkan potensi yang dimiliki serta menghindari ketergantungan peran orang  lain,

f). Dedramatisasi, pendekatan ini mencoba untuk meminimalisir bentuk hiperbola atas suatu masalah yang dialami oleh penyandang cacat, dan

g). mengembangkan Empati, bukan simpati, pendekatan ini mengkedepankan rasa simpati untuk membantu para penyandang disabilitas   untuk   mengembangkan diri dan berdiri dalam kemandirian, bukan dijaga secara berlebihan yang justru semakin membatasi ruang gerak mereka.

Pekerjaan Sosial dengan Disabilitas

Walaupun penyandang disabilitas telah mendapatkan perhatian akan pemenuhan hak dan kebutuhannya, namun, masih terdapat permasalahan. Keberadaan penyandang disabilitas di tingkat global dan nasional belum menggembirakan. Sampai saat ini jumlah penyandang disabilitas yang dapat menikmati pendidikan dan bekerja angkanya masih berada di bawah 30 %. Berbagai layanan publik lainnya juga belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh penyandang disabilitas. Diskriminasi perlakuan, minimnya sarana dan prasarana aksesibel yang disediakan pada fasilitas umum, dan pengabaian kebutuhan penyandang disabilitas untuk mendukung kemandirian dan mobilitasnya masih harus dihadapi penyandang disabilitas.

Disamping itu permasalahan utama yang masih banyak dirasakan oleh penyandang disabilitas terutama dalam aksesibilitas pelayanan sosial dasar, seperti kesempatan dalam memperoleh pekerjaan dan pelayanan kesehatan. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas masih mendapatkan         perlakuan         yang didiskriminasikan dan masih sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga hak-haknya pun diabaikan.

Perlakuan yang diskriminasi baik langsung atau tidak langsung yang dirasakan menyebabkan kelompok ini rentan dan terabaikan. Kebutuhan penyandang disabilitas tidak terakomodasikan dengan baik, dianggap sebagai sesuatu yang eklusif (khusus), kalaupun terakomodasi, itupun dalam konteks kesejahteraan sosial sebagai penerima layanan (pasif). Mengingat disabilitas merupakan cross cutting issue, Negara seharusnya juga merumuskan kembali untuk tidak mengalokasikan dan mendistribusikan sumber dayanya secara terpisah dalam hal penanganan

penyandang disabilitas (penyandang cacat) dan penting artinya memberikan kesempatan dan partisipasi aktif para penyandang disabilitas itu sendiri dalam perencanaan pemenuhan kebutuhannnya.

Sehubungan dengan permasalahan penyandang disabilitas, pekerja sosial memiliki tanggung jawab profesi dalam pemberian pelayanan dan intervensi terhadap penyandang disabilitas tersebut. Intervensi pekerjaan sosial dalam hal ini bertujuan untuk mencapai Keberfunsian Sosial (Social Funcsioning) penyandang disabilitas. Sehubungan dengan hal tersebut. Keberfungsian sosial (social fungsioning) mengacu pada cara yang dilakukan individu- individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya (Siporin, 1975:17). Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan peranannya (Social functioning). Skidmore, Thackeray dan Farley (1991:19): ‘Social functioning to be a central purpose of social work and intervention was seen as the enhancement of social functioning.’

Menurut Dubois & Milley (1992), ada tiga klasifikasi keberfungsian sosial, yaitu: 1) keberfungsian sosial adaptif: adanya sistem yang mampu memanfaatkan sumber-sumber yang ada di struktur sosialnya ketika dihadapkan pada kebutuhan, isu maupun masalah, 2) keberfungsian rentan: dalam masyarakat, ada populasi yang punya resiko gagal berfungsi sosial, sistem ini rentan (vulnerable) terhadap masalah keberfungsian sosial, dan 3) keberfungsian sosial tidak adaptif: menunjuk pada sistem yang mengalami ketidak mampuan beradaptasi. Pada sistem seperti ini, masalah sosial menjadi begitu parah, sehingga sistem tidak berfungsi secara sosial.

About the Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these