Konsep Perlindungan Hak Konstitusional Penyandang Disabilitas Di Indonesia

Arie Purnomosidi

Fakultas Hukum Universitas Surakarta Korespondensi

PENDAHULUAN

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945 (UUD  NRI  1945) me –

nyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut bahwa dalam negara Indonesia hukum ditempatkan dalam kedudukan tertinggi dalam rangka penyeleng- garaan negara. Dalam penyelenggara- an negara tersebut, hukum dibentuk kedalam suatu konstitusi, yang dalam hal  ini adalah UUD 1945.  Menurut J.G. Steenbeek, konstitusi sebagai aturan dasar tertinggi dalam suatu negara minimal memuat tiga hal pokok yaitu: (1) adanya jaminan dan penghormatan terhadap Hak asasi manusia dan warga negaranya; (2) ditetapkannya susunan kenegaraan suatu negara yang bersifat funda-  mental; dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia maupun hak warga negara menjadi inti dari konsepsi negara hukum. Oleh karena itu, segala norma hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan negara harus diorientasikan kepada perlindungan dan pemenuhan HAM dan hak warga negara.2 Dalam praktik penyelengga- raan negara hukum, diperlukan ada- nya instrumen dan institusi hukum untuk menjaga dan menjamin per- lindungan dan pemenuhan hak warga negara. Instrumen dan institusi hukum inilah yang menjadi ciri dari negara hukum, yang berkembang baik dalam tradisi hukum civil law dengan konsep rechtsstaat3 maupun dalam tradisi hukum common law dengan konsep the rule of law. Hak-hak yang diatur dalam kons- titusi merupakan batas yang tidak bisa dilanggar oleh penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan negara, baik sebagai hak warga negara atau hak asasi. Dalam UUD NRI 1945 hak-hak yang secara tegas disebut sebagai hak asasi manusia yaitu sebagaimana termuat dalam Bab XA UUD NRI 1945. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada harkat dan mar- tabat manusia sejak lahir, seperti hak untuk hidup, hak untuk diperlakukan sama dan hak untuk mendapat kepas- tian hukum dan keadilan serta seju- mlah hak-hak asasi lainnya. Hak asasi tersebut pada hakikatnya dika- takan tidak tergantung pada negara, dan telah ada sebelum negara lahir.5 Ruang lingkup manusia sebagai- mana dimaksud mencakup siapapun tanpa terkecuali termasuk di dalam- nya penyandang disabilitas. Penegas- an mengenai lingkup itu sangat pen- ting, karena HAM bagi penyandang disabilitas masih kerap diabaikan, bahkan dilanggar. Pelanggaran terjadi karena penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai bagian dari warga negara, bahkan juga tidak dianggap manusia.6 Kondisi tersebut meng- akibatkan para penyandang disabilitas tidak mendapatkan perlindungan yang layak. Sehingga penyandang disabilitas rentan untuk dijadikan alat produksi yang murah, misalnya menjadi pekerja anak dan buruh

perempuan yang selalu dibayangi tindakan pelanggaran HAM. Dalam kondisi itu, penyandang disabilitas rentan terkena tindakan diskrimi- natif ganda, yaitu ketika seorang penyandang disabilitas merupakan seorang anak, perempuan, dan lanjut usia. Mengacu pada banyaknya jumlah penyandang disabilitas, semestinya memang tidak terjadi pembedaan perlakuan pemenuhan hak antara orang yang normal dengan penyan- dang disabilitas. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan para penyandang disabilitas.

PEMBAHASAN

Pengertian Penyandang Disabilitas

Perlu dijelaskan bahwa dalam tulisan ini, digunakan istilah pe- nyandang disabilitas dibandingkan istilah penyandang cacat. Alasan digunakan istilah penyandang disabi- litas dikarenakan istilah penyandang cacat selama ini dipakai dalam meng- gambarkan sosok anak cucu Adam yang mengalami kelainan fisik dan/ atau mental.8 Sehingga istilah pe

nyandang cacat tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip HAM dan me- rendahkan harkat dan martabat manusia. Menurut John C. Maxwell, pe- nyandang disabilitas merupakan se- seorang yang mempunyai kelainan dan/atau yang dapat mengganggu aktivitas.9 Sementara itu, Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016) menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keter- batasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambat- an dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesama- an hak. Dari definisi tersebut, penyan- dang disabilitas berdasarkan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2016 dapat dikate- gorikan kedalam empat kelompok, yaitu:

  1. Penyandang Disabilitas fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
  2. Penyandang Disabilitas intelek- tual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.
  3. Penyandang Disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
    1. psikososial di antaranya skizo- frenia, bipolar, depresi, anxie- tas, dan gangguan kepribadian;
    2. dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
    3. Penyandang Disabilitas sen- sorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Sementara itu, Organisasi Kese- hatan Dunia (WHO atau World Health Organization) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatas- nya kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal. Sehingga oleh WHO, terdapat tiga kategori disabili-tas, yaitu:

  1. Impairment, yaitu kondisi ketidak- normalan atau hilangnya struk-tur atau fungsi psikologis, atau anatomis;
  2. Disability yaitu ketidak mampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melaku- kan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia;
  3. Handicap, yaitu keadaan yang me- rugikan bagi seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan pe- ranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersang- kutan.

Hak Konstitusional Penyandang Disabilitas di Indonesia

Penyandang disabilitas adalah anggota masyarakat dan memiliki hak untuk tetap berada dalam komunitas lokal. Para penyandang disabilitas harus menerima dukungan yang dibutuhkan dalam struktur pendidik- an, kesehatan, pekerjaan dan pela- yanan sosial. Sehingga hak-hak pe- nyandang disabilitas dalam persektif HAM dikategorikan sebagai hak khu- sus bagi kelompok masyarakat ter- tentu.11 Berbicara tentang hak konstitu- sional, berarti membicarakan ten- tang hak dasar manusia yang dimuat dalam konstitusi. Hak konstitusional penyandang disabilitas ini perlu untuk diatur baik dalam konstitusi maupun di dalam undang-undang yang bertujuan bukan hanya untuk menjamin peme- nuhan hak dan kebutuhan para pe- nyandang disabilitas, tetapi juga memberikan tanggung jawab pada pemerintah dan masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam meningkat- kan harkat dan martabat para penyan- dang disabilitas. Selain itu, penga

turan hak penyandang disabilitas ke dalam konstitusi maupun undang- undang diharapkan dapat memperkuat komitmen untuk kemajuan dan perlin- dungan terhadap hak penyandang disabilitas di Indonesia. Dengan demi- kian, hak penyandang disabilitas ini akan menjadikannya sebagai hak yang dilindungi secara konstitusional atau hak konstitusional (constitutional rights). Penyandang disabilitas memiliki hak fundamental layaknya manusia pada umumnya dan penyandang disabilitas memperoleh perlakuan khusus dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan ter- hadap berbagai pelanggaran HAM. Sebagai hak konstitusional, bentuk hukum hak-hak penyandang disabi- litas dapat diatur dalam tiga bentuk yaitu: (1) diatur konstitusi, dalam hal ini Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945;

(2) diatur dalam suatu undang-undang

berikut sanksi hukuman bagi pelang- garnya (contoh: diatur dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan UU No. 8 Tahun 2016); (3)

diatur dalam Peraturan Daerah (contoh: Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pemenuhan Hak Penyan- dang Disabilitas).

Landasan hak konstitusional yang mengatur perihal perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 28H ayat (2) jo. Pasal 28I

ayat (2) UUD NRI 1945. Pasal 28H ayat

(2) mengatur bahwa, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dalam konteks Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 diperjelas dengan Pasal 5 ayat (3) jo Pasal 42 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999. Pasal

5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh per- lakuan dan perlindungan lebih ber- kenaan dengan kekhususannya.” Pe- ngaturan ini diperkuat oleh Pasal 42 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan per- lakuan khusus.

Dengan  pemaknaan  di  atas, me- negaskan bahwa kelompok penyan- dang disabilitas termasuk dalam terminologi “setiap orang” dalam ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, dalam penafsiran tersebut juga disebutkan bahwa makna dari “kemudahan” dan “perlakuan khusus” bukanlah dipahami dalam makna perlakuan yang diskriminatif, tetapi tetap dalam lingkup pemenuhan hak konstitusional. Oleh sebab itu, para penyandang disabilitas memiliki keduduk-an, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabili- tas tanpa adanya diskriminasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak men- dapatkan perlindungan terhadap per- lakuan yang bersifat diskriminatif itu. Penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan khusus. Setidaknya ter- dapat dua makna perlakuan khusus, yang pertama perlakuan khusus ini adalah sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi12 dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggar- an hak asasi manusia. Perlakuan khu- sus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pema- juan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal. Sedang- kan yang kedua perlakuan khusus disini adalah bentuk keberpihakan kepada penyandang disabilitas berupa perlakuan khusus dan atau perlin- dungan yang lebih sebagai kompen- sasi atas disabillitas yang disandang- nya demi memperkecil atau meng- hilangkan dampak disabilitas se- hingga memungkinkan untuk me- nikmati, berperan dan berkontribusi secara optimal, wajar dan bermar- tabat dalam segala aspek kehidupan

berbangsa, bernegara dan berma- syarakat.13

Dari penjelasan di atas maka UUD NRI 1945 sudah dengan tegas melindungi hak konstitusional pe- nyandang disabilitas dalam konteks “setiap orang” maupun sebagai bagian dari “warga negara”. Selain itu, pe- nyandang disabilitas pun dimung- kinkan untuk mendapatkan affir-mative action atau hak atas kemudahan dan perlakuan khusus dalam konteks pemenuhan hak konstitusionalnya tersebut. Kedua konsep tersebut harus dipahami dan diresapi dalam pemben- tukan peraturan perundang-undang- an maupun kebijakan sebagai pelak- sanaan dari ketentuan dalam UUD NRI 1945. Oleh sebab itu Pasal 28H ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 menjadi landasan yuridis bagi UU  No. 8  Tahun 2016. Berdasar-kan

UU  No.  8  Tahun  2016, hak-hak

penyandang disabilitas dapat dikate- gorikan kedalam tiga kategori yaitu:

Pertama, hak penyandang dis- abilitas. Terkait dengan hak-hak pe- nyandang disabilitas, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016.

Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas memiliki 22 (dua puluh dua) hak. Hak-hak ter- sebut  adalah:  (1) hak  untuk hidup;

(2) bebas dari stigma; (3) privasi; (4) keadilan dan perlindungan hukum; (5) pendidikan; (6) pekerjaan, kewira – usahaan, dan koperasi; (7) kesehatan;

(8) politik; (9) keagamaan; (10) keolah-

ragaan; (11) kebudayaan dan pari – wisata; (12) kesejahteraan sosial; (13) aksesibilitas; (14) pelayanan publik;

(15) perlindungan dari bencana; (16) habilitasi dan rehabilitasi; (17) kon- sesi; (18) pendataan; (19) hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masya- rakat; (20) berekspresi, berkomuni- kasi, dan memperoleh informasi; (21) berpindah tempat dan kewargane- garaan; (22) bebas dari tindakan dis- kriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

Kedua, hak perempuan disabili- tas. Hak untuk perempuan penyan- dang disabilitas diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2016. Menurut Pasal tersebut, perempuan penyandang disabilitas memiliki 26 (dua puluh enam) hak. Bagi perem- puan penyandang disabilitas, selain 22 (duapuluh dua) hak penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016, juga memiliki hak:

  1. atas kesehatan reproduksi;
  2. menerima atau menolak peng- gunaan alat kontrasepsi;
  3. mendapatkan Perlindungan lebih dari perlakuan Diskriminasi ber- lapis; dan
  4. untuk mendapatkan Perlindung-an lebih dari tindak kekerasan, ter- masuk kekerasan dan eksploi-tasi seksual.

Ketiga, hak anak disabiltas. Ada- pun, anak penyandang disabilitas memiliki 29 (duapuluh sembilan) jenis

hak. Selain hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016, anak penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk:

  1. mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta keke- rasan dan kejahatan seksual;
  2. mendapatkan perawatan dan pe- ngasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal;
  3. dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan;
  4. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
  5. pemenuhan kebutuhan khusus;
  6. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan individu; dan
  7. mendapatkan pendampingan sosial.

Konsep Perlindungan Hak Kons- titusional Penyandang Disabilitas

Pada hakikatnya Tuhan mencip- takan manusia di dunia ini adalah sama, namun manusia itu sendirilah yang membedakan di antara sesama manusia, baik berwujud sikap, peri- laku, maupun perlakuannya. Pembe- daan ini masih sangat dirasakan oleh mereka yang mengalami keterbatasan secara fisik, mental, dan fisik-mental, baik sejak lahir maupun setelah dewasa, dan kecacatan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh semua manusia,

baik yang menyan-dang disabilitas maupun yang tidak menyandang disabilitas.14

Selain itu, permasalahan men- dasar bagi penyandang disabilitas adalah kurangnya pemahaman ma- syarakat maupun aparatur peme- rintah yang terkait arti disabilitas dan keberadaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara. Adanya anggapan bahwa disabilitas merupakan aib, kutukan dan me- malukan membuat keluarga menja- di tidak terbuka mengenai anggota keluarganya yang memiliki disabi- litas. Penyandang disabilitas disa- makan dengan orang sakit dan tidak berdaya sehingga tidak perlu diberi- kan pendidikan dan pekerjaan. Mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga hal tersebut mengakibatkan penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti warga masyarakat lainnya.

Hal tersebut mengakibatkan para penyandang disabilitas tidak men- dapatkan perlindungan yang layak. Sehingga penyandang disabilitas rentan untuk dijadikan alat produksi yang murah, misalnya menjadi peker- ja anak dan buruh perempuan yang selalu dibayangi tindakan pelanggar- an HAM. Dalam kondisi itu, penyan- dang disabilitas rentan terkena tin- dakan diskriminatif ganda, yaitu ketika seorang penyandang disabilitas merupakan seorang anak, perempuan,

dan lanjut usia. Oleh karena itu,  kehidupan kelompok tersebut jauh lebih sulit.15 Salah satu cara untuk memini- malisir diskriminasi terhadap pe- nyandang disabilitas adalah dengan cara memberikan perlindungan secara penuh dan setara. Hal ini sebagai- mana diatur dalam Pasal 3 huruf a UU No. 8 Tahun 2016 yaitu untuk mewujudkan penghormatan, pema- juan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar penyandang disabilitas secara penuh dan setara. Maksud dengan setara disini adalah menempatkan penyandang disabilitas setara atau sejajar dengan orang non disabilitas atau dengan istilah memanusiakan manusia (memanusiakan penyandang disabilitas).16 Sehingga dalam konsep memanusiakan penyandang disabilitas, negara wajib menghormati, meng- hargai, memenuhi dan memberikan perlindungan bagi setiap warga nega- ranya tanpa terkecuali (termasuk penyandang disabilitas).

Perlindungan penyandang disabi- litas diartikan untuk menggambarkan perlindungan hukum17 yang diberikan kepada penyandang disabilitas dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan- nya dari hal-hal yang dapat merugikan penyandang disabilitas itu sendiri. Pada akhirnya, perlindungan ini juga dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Di sam- ping itu, perlindungan penyandang disabilitas juga dapat diartikan se- bagai upaya menciptakan lingkungan dan fasilitas umum yang aksesibelitas demi kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dan bermasyarakat.18

Setidaknya  terdapat  tiga aspek perlindungan terhadap penyandang disabilitas, yaitu pertama, aspek filosofis. Ditinjau dari aspek filosofis, perlindungan terhadap penyandang disabilitas  diperlukan  untuk peme

nuhan harkat dan martabat sebagai manusia. Hal mana penyandang disabilitas wajib diperlakukan secara manusiawi sesuai dan sederajat dengan manusia normal. Sesuai dengan falsafah Pancasila bahwa setiap orang (termasuk penyandang disabilitas) memiliki kesempatan yang sama baik dalam hal pekerjaan, mengakses fasilitas umum, mendapatkan kehi- dupan dan penghidupan yang layak.

Kedua, aspek yuridis. Ditinjau dari aspek yuridis, bahwa untuk menjamin pelindungan khusus terhadap hak dan kedudukan, serta pelindungan dari perlakuan diskriminatif bagi penyan- dang disabilitas, diperlukan instru- men hukum yang secara khusus pula mengatur mengenai penyandang disabilitas. Jaminan dan perlindung- an terhadap hak dan kedudukan yang setara serta jaminan pelindungan dari perlakuan diskriminatif bagi pe- nyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan. Jaminan dan per- lindungan negara tersebut telah dinyatakan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak men- dapat kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesem- patan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selanjutnya juga ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa: “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar

apapun dan berhak men-dapatkan perlindungan terhadap per-lakuan yang bersifat diskriminatif itu”.19

Ketiga aspek sosiologis. Dari aspek sosiologis, perlindungan terhadap penyandang disabilitas sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang merupa- kan nilai dasar bernegara di Indo- nesia. Bahkan upaya perlindungan saja belumlah memadai dengan per- timbangan bahwa jumlah penyandang disabilitas akan meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan dan peng- hidupan, khususnya dalam mem- peroleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejah- teraan sosial.20

Pengaturan  mengenai hak-hak penyandang disabilitas tersebut membawa konsekuensi hukum bagi negara maupun masyarakat. Ditin- jau dari sisi masyarakat, masyakarat terikat dan mempunyai kewajiban untuk menghormati hak-hak pe- nyandang disabilitas. Hal ini seba- gaimana diamanatkan oleh Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945 yang me – nyebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber- negara. Pasal 28 J ayat (1) diperkuat

oleh Pasal 69 UU No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:

  • Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib ke- hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    • Setiap hak asasi manusia seseo- rang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghor- mati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

Sementara itu, konsekuensi bagi negara adalah adanya kewajiban bagi Negara untuk melindungi (the obligation to protect) dan memenuhi (the obligation to fulfill) hak para penyandang disabi- litas. Kewajiban disini tidak hanya terfokus pada upaya perlindungan dari pelanggaraan yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelang- garan atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non- negara) yang akan mengganggu per- lindungan hak penyandang disabilitas. Termasuk dalam hal ini adalah per- lindungan yang dilakukan oleh negara untuk menghindarkan penyandang disabilitas dari ancaman kesia-siaan, pelantaran atau eksploitasi dan lain- lain. Sedangkan kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk me- ngambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial dan praktis, yang perlu dilakukan untuk meme

nuhi hak penyandang disabilitas yang dijamin oleh konstitusi maupun pe- raturan perundang-undangan, dalam hal ini negara wajib menyediakan berbagai fasilitas fisik dan non fisik khususnya jaminan pemeliharaan dan kesejahteraan secara permanen kepada penyandang disabilitas dari kalangan kategori berat.21

Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang disabilitas telah diberikan melalui berbagai peraturan perundang-un- dangan, antara lain yaitu:

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003). Di dalam Pasal 67 UU No. 13 Tahun 2003 diatur bahwa pengusaha yang mempeker- jakan penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecaca- tannya. Yang dimaksud perlin- dungan disini adalah penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja dan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan- nya.
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009). Perlindungan terhadap penyandang disabilitas dibidang kesehatan berupa Upaya pemeliharaan kesehatan penyan- dang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis,

dan bermartabat (Pasal 136 UU No. 36 Tahun 2009).

Dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disa- bilitas tersebut, negara harus me- ngacu pada prinsip-prinsip umum berikut, yaitu:

  1. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individual, ter- masuk kebebasan untuk menen- tukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan;
  2. Non diskriminasi;
  3. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat;
  4. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan;
  5. Kesetaraan kesempatan;
  6. Aksebilitas;
  7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

About the Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these