Konsepsi Difabilitas Dan Pendidikan Inklusif

A.       Pendahuluan

Beberapa   tahun   terakhir   ini,   “pendidikan   inklusif” telah menjadi topik yang mulai ramai diperbincangkan di kalangan pemerhati pendidikan bersama-sama dengan topik pendidikan lainnya.  Topik  ini  pun  menjadi  semakin  menarik  (namun tidak

popular) karena selalu identik dengan  salah  satu  kelompok  yang dianggap rentan, yaitu difabel, anak berkebutuhan khusus, ataupun penyandang difabilitas. Tak berhenti di tataran wacana, inisiasi-inisiasi untuk mengembangkan implementasi pendidikan inklusi pun terus dimajukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan Nasional, untuk lebih meningkatkan aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat secara lebih luas. Sejalan dengan hal tersebut, kelompok masyarakat sipil pun punya peran penting dalam melakukan monitoring, advokasi, bahkan tak jarang yang menjadi mitra pemerintah dalam memajukan program- program tersebut.

Sebagai dua konsepsi yang masih relatif baru, agaknya konseptualisasi difabilitas dan pendidikan inklusi masih perlu dikawal dan dibenahi dalam implementasinya. Pasalnya, informasi yang obyektif tentang pemahaman pendidikan inklusi dan difabilitas masih sangat kurang dipahami di lapangan. Ditambah lagi, dengan fakta masih sedikitnya literatur yang mendiskusikan tema tersebut. Untuk itu, tulisan sederhana ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk turut mencerahkan pemahaman seputar difabilitas dan pendidikan inklusi.

Saya mencoba membagi tulisan ini dalam dua bagian utama. Bagian pertama akan berdiskusi seputar konsepsi  difabilitas.  Pada bagian ini, beberapa model pandangan difabilitas, termasuk model medis, model sosial dan konsepsi difabilitas sendiri akan coba didiskusikan. Sedang bagian kedua akan membahas tentang pendidikan inklusi yang meliputi pemaknaan, sampai dengan implementasinya di Indonesia. Pada subbagian paling akhir, penulis juga mencoba mengusulkan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki kebijakan pendidikan terkait dengan inklusi dan pelaksanaannya.

B.       Konsepsi Difabilitas

Seiring dengan perkembangan sejarah perubahan sosial dari

masa ke masa, pemahaman orang terhadap keberadaan kelompok

berkebutuhan khusus, penyandang cacat, difabel, penyandang ketunaan, penyandang disabilitas, atau yang secara internasional dikenal dengan disabled people atau persons with disability, maupun  istilah  lain  yang  dimaksudkan  untuk  merujuk  subyek  yang  sama (dengan idiologi dan konsepsi yang berbeda) pun telah mengalami banyak

perubahan. Secara garis besar, setidaknya ada beberapa konsepsi yang dalam sepanjang perkembangan sejarah perubahan sosial serta teoretisasi difabililitas cukup dominan.

Pandangan yang pertama adalah perspektif medis/indi- vidual, yang melihat dan menempatkan kecacatan  sebagai  sebuah permasalahan individu. Secara ringkas, pandangan ini menganggap kecacatan/impairment sebagai sebuah tragedi personal, dimana impairment selalu diposisikan sebagai akar permasalahan serta penyebab atas hambatan aktifitas serta berbagai bentuk ketidak beruntungan  sosial  yang  dialami.1  Model/pandangan  ini pun diadopsi dalam sebuah instrumen internasional yang

dipublikasikan oleh WHO pada tahun 1980, yang dikenal dengan ICIDH (International  Clasification  of  Impairment,  Disability  and Health).2 Dalam klasifikasi internasional ini, WHO, dengan keterlibatan dominan kelompok-kelompok professional medis, telah secara arogan menegaskan hubungan kausal antara impairment / keterbatasan fungsi, disability/ketidakmampuan/hambatan akti- vitas, serta handicap/ketidakberuntungan sosial. Salah satu contoh nyata dari pandangan ini adalah jika seorang dengan kaki layuh dan tak dapat berjalan, maka dia tak akan dapat bersekolah, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta menikmati hidupnya secara layak. Untuk itu, diperlukan penanganan rehabilitasi khusus agar dia dapat berjalan sebagaimana orang-orang lain dan selanjutnya dapat melanjutkan hidupnya secara wajar. Sebagai konsekuensinya, pandangan yang melihat fenomena keberedaan fisik/mental sebagai permasalahan ini kemudian menempatkan pendekatan rehabilitasi, layanan khusus serta berbagai bentuk pendekatan medis dan sosial khusus lainnya sebagai solusi. Sekali lagi, ini mempertegas anggapan sosio-medis mereka bahwa permasalahan yang harus ditangani adalah berada pada diri mereka (orang dengan keberbedaan fisik/mental). Aplikasi dari pandangan ini adalah didirikannya berbagai sekolah- sekolah khusus, SLB, serta panti-panti rehabilitasi yang berupaya menormalkan atau membuat para difabel mendekati normal,  yang kemudian diharapkan dapat kembali hidup wajar di tengah lingkungan masyarakat mereka.

Perlawanan atas pandangan ini pun muncul pada awal abad 20an, ketika kelompok masyarakat sipil difabel di Eropa, khususnya Inggris, mulai melakukan penolakan model-model institusionalisasi yang dibangun oleh para profesional medis dan sosiologis tersebut. Pandangan yang disebut dengan social model, yang belakangan kemudian berkembang menjadi pandangan yang melihat difabilitas dalam pendekatan HAM ini dibangun atas sebuah prinsip dasar bahwa kecacatan/impairment maupun keterbatasan fungsional sesungguhnya tidak pernah mempunyai korelasi langsung terhadap apa yang dikatakan sebagai disability/ketidakmampuan aktifitas, maupun juga partisipasi sosial.3 Disability, menurut pandangan ini, tidak lain dikarenakan atas kegagalan masyarakat, lingkungan serta negara dalam mengakomodasi apa yang menjadi kebutuhan difabel (UPIAS, 1996).4 Dengan kata lain, disability yang dimaksud merupakan buah dari sebuah interaksi lingkungan yang gagal mengakomodasi keberadaan difabel.  Kembali  ke  contoh  di atas, yang ditekankan oleh social model bukanlah latihan atau rehabilitasi khusus agar seorang dengan kaki layuh dapat berjalan, melainkan agar masalah keterbatasan mobilitas yang dia alami dapat terpecahkan melalui adaptasi lingkungan seperti sarana lingkungan yang aksesibel, ataupun ketersediaan alat bantu yang sesuai.

Dalam perkembangannya, hak asasi manusia pun kemudian mulai mengenali isu difabilitas sebagai sebuah bagian integral atas isu HAM, yang berangkat dari salah satu prinsip bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang secara inherent melekat pada setiap manusia, maka kondisi social exclusion yang dialami oleh kelompok difabel yang diakibatkan atas interaksi yang gagal tersebut sudah seharusnya dipandang sebagai suatu bentuk pelanggaran hak. Dengan kata lain, jaminan atas kesetaraan, kesamaan hak serta partisipasi penuh juga semestinya melekat pada setiap individu difabel yang juga mesti dilindungi. Tidak berhenti  sampai  di  situ, langkah-langkah pemenuhan hak dasar, sebagaimana diatur dalam berbagai instrument HAM, yang untuk kelompok difabel akan lebih relevan jika merujuk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) juga semestinya dilakukan dengan memperhatikan prinsip interdependence, indivisibility and interrelated

of rights, yaitu bahwa setiap hak bersifat terkait, tergantung dan saling tak terpisahkan satu sama lain.5

Di Indonesia sendiri, model medis pernah turut mewarnai dan menjadi bagian sejarah difabilitas. Sebut saja keberadaan sekolah-sekolah luar biasa, maupun panti-panti rehabilitasi yang merupakan model peninggalan kolonial belanda pada masa penjajahan dan sampai sekarang masih  dilanggengkan.  Bukti  lain adalah penggunaan istilah “penyandang cacat”, yang bukan saja secara bahasa mempunyai konotasi negatif (tidak sempurna, tidak utuh, produk gagal, dan lain sebagainya), melainkan juga karena pemaknaan popular bahwa penyandang cacat merupakan penyandang masalah social. Pemaknaan ini jelas sejalan dengan pandangan sosio-medis yang mengatakan bahwa kecacatan

merupakan keterbatasan fungsi fisik atau mental yang selanjutnya berpengaruh langsung terhadap hambatan aktifitas dan partisipasi yang menghasilkan berbagai bentuk kerugian social.

Meskipun tak semasif yang terjadi di belahan dunia Barat, di Indonesia konsepsi difabilitas pun terus berkembang. Terutama

pada era tahun 90-an, ketika para aktifis difabel mulai menggagas penolakan atas istilah dan pemaknaan istilah penyandang cacat, yang sampai akhirnya memunculkan istilah difabel, sebagai akronim dari differently abled people; dan menurut penulis bukan (person with different ability). Istilah “difabel”, yang pertama kali digagas oleh Mansyur Fakih dan Setya Adi Purwanta (seorang difabel netra) bukanlah serta- merta merupakan pengganti dari istilah penyandang cacat. Gagasan atas ditawarkannya pengistilahan ini adalah lebih merupakan ide atas perubahan konstruksi sosial memahami difabilitas, atau yang saat itu dikenal sebagai kecacatan/penyandang cacat.

Konsepsi kecacatan/penyandang cacat, yang setali tiga uang dengan pelabelan medis dan sosio-psikologis, menurut penulis setidaknya telah tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan kritis berikut. Pertama, konsepsi kecacatan telah gagal melihat keberadaan faktor di luar individu sebagai bagian yang sangat menentukan dalam pencapaian aktualitas social seseorang. Pemaknaan “keterbatasan fungsi fisik dan atau mental”, “hambatan aktifitas”, serta “ketidak beruntungan sosial” sebagai tiga  hal  yang mempunyai hubungan kausatif secara langsung jelas telah mengabaikan faktor individu lain di luar keterbatasan tersebut, di

samping juga faktor lingkungan serta interaksi individu dengan lingkungan, yang telah nyata-nyata turut ambil bagian dalam melahirkan hambatan bagi difabel. Kembali ke contoh anak dengan kaki layuh di atas, pemberian terapi, sekolah khusus, tidak akan serta-merta menjadi solusi untuk keseluruhan hidup anak tersebut. Dia masih akan tetap berhadapan dengan lingkungan masyarakat, sarana umum, transportasi yang tidak aksesibel, stigma dan penolakan dari masyarakat sekitar, atau bahkan lembaga tempat dia bekerja, yang pada akhirnya, kesemuanya akan terakumulasi sebagai hambatan berlapis yang dialaminya.

Kedua, konsepsi kecacatan sangat dekat dengan paham normal- ism yang didesain oleh para profesional medis dengan standar- standar keilmuan yang sepihak. Melalui standar-standar tersebut, mereka menempatkan orang-orang pada kategori normal dan tidak normal, dan kemudian melabel mereka yang dikatakan sebagai tidak normal tersebut dengan label tertentu dan merekomendasikan resep – treatment tertentu. Lalu bagaimana dengan mereka yang dikatakan normal, yang kemudian meyakini stigma yang mereka labelkan kepada yang dianggap tidak normal, lalu memberikan sikap yang berbeda seperti prejudice dan diskriminasi misalnya, apakah mereka (termasuk para profesional medis dan sosiologis) itu juga dapat dikatakan sebagai tidak normal? Akan lebih adil kiranya jika kemudian normalisme dipahami sebagai sebuah kewajaran ketika setiap orang hidup wajar dalam harmoni dengan keberbedaannya masing-masing.

Ketiga, konsepsi kecacatan dinilai tidak konsisten dengan nilai teologis yang menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan dengan derajat tertinggi; dan Tuhan sebagai sang Maha Pencipta yang tak pernah salah dengan ciptaannya. Dengan melabel sekelompok orang sebagai yang cacat, secara langsung  hal itu berarti juga mengatakan bahwa Tuhan kurang sempurna dalam menciptakan sekelompok hamba-Nya. Penulis yakin, tak ada satupun pemuka agama manapun yang mau dikatakan bahwa Tuhannya telah ceroboh atau kurang teliti dalam menciptakan hamba-Nya.

Dengan melihat kritik atas konsepsi kecacatan di atas, difabel, (differently abled people), coba ditawarkan karena dipandang lebih mampu mengakomodasi serangkaian kritik di atas, di samping juga merupakan upaya untuk mendekonstruksi gambaran negative dari konsepsi kecacatan/penyandang cacat. Pertama,

pengistilahan difabel mencoba melepaskan hubungan kausatif antara keterbatasan fungsi (fisik atau mental), hambatan aktifitas, serta ketidakberuntungan social. Dengan kata lain, bahwa ketiga hal tersebut boleh jadi berkaitan, namun bukan merupakan keterkaitan yang mutlak. Konsepsi difabilitas mengakui bahwa setiap individu mempunyai perbedaan (terlepas apakah dia difabel atau bukan) dan sebagai konsekuensi dari perbedaan itulah, maka sangat penting bagi lingkungan dan masyarakat untuk merespon positif bentuk perbedaan tersebut. Konsepsi ini juga mengakui realitas akan keterbatasan fungsi (fisik atau mental) sebagai suatu realitas yang normal.

Kedua, konsepsi ini menggeser standar normalisme sebagai sebuah realitas. Berbeda dengan standar medis/sosiologis di mana normalisme didasarkan pada standar-standar mayoritas dan yang berbeda/minoritas dikatakan sebagai tidak normal, dalam konsepsi difabilitas, standar kenormalan adalah realitas itu sendiri di mana manusia adalah sejatinya berragam.

Ketiga, konsepsi difabilitas tidak menempatkan satu kelompok sebagai yang inferior dan yang lain sebagai superior. Coba bandingkan dengan istilah persons with disabilities atau disabled people (istilah internasional), ataupun penyandang cacat, penyandang ketunaan dan penyandang disabilitas. Walaupun berbagai definisi telah dibuat, namun penggunaan kata-kata tersebut setidaknya tetap mempunyai makna inferior. Istilah difabel secara obyektif dirasa lebih adil dengan mengedepankan pengakuan atas keberbedaan dan bukan ketidakmampuan/kecacatan.

Sebagai sebuah konsepsi baru yang masih perlu diperdebatkan dan disempurnakan, tentu masih banyak bertanyaan yang harus bisa dijawab oleh konsepsi ini. Salah satunya adalah bias soal penyebutan “yang berbeda” pada istilah difabel. Bukankah setiap orang punya perbedaan? Bukankah tinggi dan pendek, kecil dan besar, putih dan hitam, miskin dan kaya adalah juga perbedaan? Bukankah orang dengan organ tubuh yang sama-sama lengkap juga tidak dapat dipastikan bahwa mereka mempunyai kekuatan/ kemampuan yang sama? Jika demikian halnya, bukankah setiap orang dapat menggunakan kategori difabel?

Sebagai sebuah konsepsi yang membalik pemaknaan “ketidak beruntungan” sebagai “perbedaan”, konsepsi difabilitas berujung pada pengakuan atas kesetaraan. Karenanya, penulis yakin bahwa

apapun konsepsi yang dibangun, baik itu kecacatan,  disability dan sebagainya, selama masih ada pemaknaan superioritas dan inferioritas maka pesan perubahan paradikma ke arah kesetaraan akan sulit tersampaikan. Dengan demikian, menjawab pertanyaan di atas adalah benar bahwa setiap orang berhak mengkategorikan dirinya sebagai difabel. Dan ketika itu terjadi, maka sejatinya konsepsi difabel telah dapat diterima dan pesan akan kesetaraan telah dapat sepenuhnya diterima.

Akhirnya, inklusi pun dipandang sebagai sebuah cara yang paling tepat dalam mengejawantahkan pandangan  ini.  Dalam  hal ini, inklusi mestinya dipahami sebagai sebuah kondisi yang menjamin partisipasi penuh setiap manusia dengan beragam keberbedaan, melalui serangkaian akomodasi-akomodasi yang harus dilakukan sesuai kebutuhan. Pengertian yang masih abstrak ini, tentunya masih perlu diterjemahkan dengan lebih nyata tentang bagaimana akomodasi-akomodasi kebutuhan tersebut harus dilakukan, jaminan atas partisipasi penuh tersebut akan seperti apa, dan seterusnya. Oleh masyarakat dunia, langkah-langkah mewujudkan inclusion ke dalam bentuk nyata pun terlihat dengan munculnya berbagai dokumen internasional, perkembangan teori, filosofi akademik, serta perubahan pendekatan dalam menangani kelompok difabel tersebut.

C.       Pendidikan Inklusif

Jika pada bagian sebelumnya saya mencoba mengemukakan

tinjauan teoritis mengenai konseptualisasi difabel, pada bagian ini, diskusi tentang pendidikan inklusi (berbekal konsepsi di atas) akan lebih melihat wilayah praktis, walaupun tidak akan menyinggung

kasus-kasus spesifik di ranah implementasi. Saya sengaja tidak berusaha memasuki wilayah tersebut, justru agar kita tidak terjebak dengan dilematis teknis yang terkadang dapat mengaburkan bangunan konseptualisasi yang sedang dibangun.

Pendidikan inklusif, yang kini telah mulai dikenal setelah lama diwacanakan di Indonesia sendiri telah mulai berkembang di tingkat internasional sejak cukup lama. Setidaknya, apa bila merujuk pada beberapa dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Dunia TentangPendidikan Untuk Semua (1990), Peraturan Standar Tentang Persamaan Hak Bagi Difabel (1993), dalam beberapa substansinya mempunyai

pointer-pointer yang relevan dengan semangat pendidikan inklusif sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang mengakomodasi keberbedaan, keunikan serta keberragaman masing-masing peserta didik. Terlebih apa bila mengacu pada Pernyataan Salamanca (1994) yang secara lebih mengerucut memberikan guideline yang jelas mengenai penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusi.

Jika sudah boleh dikatakan berjalan, pendidikan inklusif sendiri sudah dimulai beberapa tahun terakhir di Indonesia. Kebijakan mengenai pendidikan inklusif pun sudah dicanangkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 70 Tahun 2009 yang secara tegas mengatur berbagai aspek dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. Dalam pasal 4 ayat 1 Permen ini misalnya diatur bahwa pemerintah kabupaten / kota harus menunjuk paling tidak satu sekolah inklusif pada tiap – tiap kecamatan, baik pada tingkat dasar dan menengah. Pasal – pasal lain dalam Permen ini seperti pasal 6 sampai 10 menegaskan kewajiban negara untuk menjamin tersedianya sumber daya, termasuk guru pendamping khusus pada masing masing sekolah inklusif. Namun, terlepas dari keberadaan kebijakan dan pelaksanaan pendidikan inklusif, ada beberapa pertanyaan yang perlu di kemukakan.

Pertama, layanan inklusi dalam pendidikan yang sudah berjalan ini masih sebatas pada tingkat pendidikan dasar dan menengah sebagaimana terlihat dalam ayat 4 Permendiknas 70, meski berbagai produk perundangan lain seperti UU Pendidikan Nasional ( UU no. 20 tahun 2003) dan UU No. 4 Tahun 1997 menegaskan hak difabel memperoleh pendidikan pada semua jenjang. Meski tidak ada data statistik yang jelas, fakta di lapangan juga  menunjukan  keberadaan  difabel  di  berbagai  universitas  di Indonesia. Kondisi ini menuntut kreatifitas dan komitmen lembaga pendidikan tinggi untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa difabel yang mesti pula dibarengi dengan komitmen pemerintah dalam memfasilitasi pengembangannya. Dan tentunya, fakta ini haruslah ditindaklanjuti oleh pemerintah, serta berbagai stakeholders yang mempunyai keterlibatan dalam pengembangan pendidikan masyarakat Indonesia untuk menjadikan pendidikan inklusif sebagai sebuah mainstream dalam pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan.

Di sisi lain, apa yang dimaksud sebagai pendidikan inklusif dalam kontek sistem pendidikan nasional kita agaknya juga masih perlu dikaji dan dikembangkan lebih jauh. Fakta menunjukkan bahwa sepanjang implementasinya, pelaksanaan pendidikan inklusif sejauh ini masih belum mampu menjawab kebutuhan akan keteraksesan serta kualitas pendidikan itu sendiri. Di satu pihak kesiapan hard resources masih menjadi masalah besar pada sekolah- sekolah inklusif baru-baru ini, yang terkait dengan ketersediaan media belajar, infra struktur, serta berbagai fasilitas sekolah yang aksesibel. Sementara di pihak lain, pengayaan soft resources yang berupa penguasaan pemahaman pengajar serta managemen lembaga pendidikan akan konsekuensi dari inklusi, kemampuan mengelola pembelajaran dalam setting inklusi, melakukan sistem penilaian, serta modifikasi kurikulum yang menjadi konsekuensi logis dari pendidikan inklusif juga masih menjadi kesulitan di sebagian besar sekolah.6

Untuk itu, bagian berikutnya akan mencoba untuk (1) melihat relevansi antara konsep dan kebijakan pendidikan inklusif dalam rangka memberikan kontribusi atas perbaikan-perbaikan yang mungkin untuk dilakukan; dan (2) memaparkan dan memberikan usulan dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi yang lebih baik dengan keterlibatan multi stake holders. Mendudukkan “pendidikan inklusif” sebagai sebuah prinsip dalam penyediaan layanan pendidikan tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Inklusi yang ingin coba diterapkan  di  Indonesia  ini harus dipahami secara mendalam bukan hanya dalam tataran abstrak dan teoritis, namun juga harus dapat diterjemahkan  secara praktis dan implementatif. Begitu pula, sebelum inklusi dapat sepenuhnya diterapkan, perubahan paradigma di kalangan stakeholders yang berpengaruh dalam penyelenggaraan pendidikan harus terjadi secara matang dan tepat.

D.      Memaknai Pendidikan Inklusif

Bagaimana      pendidikan       inklusif      dimaknai       merupakan

pondasi penting yang harus dibangun untuk dapat mengkonseptualisasikannya dalam tataran praktis. Memahami pendidikan inklusif tidak bisa berhenti sebatas menerima anak didik berkebutuhan khusus pada lembaga pendidikan secara bersama- sama dengan anak-anak lainnya. Lebih dari itu, pendidikan inklusif dibangun atas sebuah ide mulia untuk mengakomodasi keberagaman.

Dalam sudut pandang ini, Stubbs 8 menegaskan bahwa istilah “normal” tidak lagi dipahami sebagai standar-standar kewajaran yang digunakan untuk mengkategorikan kemampuan anak, melainkan untuk memaknai keberragaman sebagai sesuatu yang “normal” dalam masyarakat. Demikan pula, adalah normal apa bila ada anak yang pandai dan tidak, kaya dan miskin, dengan perbedaan ras, suku bangsa, agama, termasuk yang berkebutuhan khusus dan yang tidak dan keberadaan mereka harus diakomodasi dalam sistem pendidikan inklusif.9 Dengan demikian, inklusi harus diterjemahkan sebagai bukan saja sebuah affirmative action untuk mengakomodasi pendidikan bagi anak-anak dengan difabilitas saja, tapi lebih dari itu, inklusi memang sebuah upaya untuk mengakomodasi berbagai bentuk keragaman. Dengan kata lain, ketika kita berbicara tentang pendidikan  inklusif,  sebenarnya  kita berbicara tentang membangun lingkungan/penyelenggaraan pendidikan bagi semua anak (Education for All).

Berpegang pada pemahaman di atas, diskusi tentang pendidikan inklusif semestinya tidak lepas dari setidaknya tiga hal. Yang pertama adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan harus mempertimbangan aspek afordabilitas yaitu pendidikan menjadi sesuatu yang terjangkau oleh setiap lapisan masyarakat. Pendidikan harus segera dikembalikan menjadi barang publik yang bias dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Yang kedua adalah nilai acceptabilitas, yaitu bahwa lembaga pendidikan harus diyakinkan untuk mau dan mampu menerima peserta didik dengan perbedaan latar belakang. Sedang yang ketiga adalah akomodasi/aksesibilitas. Agaknya bagian ketiga inilah yang

banyak didiskusikan dalam pengertian inklusif di Indonesia, juga dalam tulisan ini.

Dalam kaitannya dengan pendidikan inklusif bagi siswa/ peserta didik dengan kebutuhan khusus, lebih jauh Skjorten10 mengidentifikasi bahwa ada setidaknya tiga faktor yang harus diakomodasi secara holistik dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Yang pertama adalah lingkungan, yang termasuk di dalamnya adalah respon lingkungan terhadap keberadaan peserta didik berkebutuhan khusus, tingkat pemahaman dan penguasaan guru terhadap pembelajaran yang mengakomodasi perbedaan, isi,

materi serta metode pembelajaran, serta lingkungan yang lebih luas yang berhubungan dengan lingkungan sosial, ekonomi serta politik, yang secara langsung maupun tidak, keseluruhan akan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan belajar  anak. Yang ke dua adalah faktor dalam diri peserta didik yang dapat meliputi rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif untuk berinteraksi dan komunikasi, kompetensi sosial, temperamen, kreatifitas, dorongan untuk belajar dan gaya belajar, serta kemampuan. Adapun faktor yang ke tiga adalah hakekat dan tingkat kebutuhan khusus. Ke tiga faktor inilah yang dalam penyelenggaraan setting pembelajaran inklusi mesti diakomodasi ke dalam berbagai bentuk penyesuaian- penyesuaian sebagaimana yang diperlukan.

Dengan membaca keterkaitan antara ketiga faktor di atas, inklusi mempunyai sebuah karakteristik khusus yang sama sekali berubah dari sistem sebelumnya. Jika pada sistem pendidikan segregasi (baca model medis), pendidikan berorientasi kepada keterbatasan anak dengan merujuk pada diagnosa yang dilakukan oleh profesional, inklusi berupaya untuk meninggalkan pemahaman ini. Sesuatu yang dikatakan sebagai kecacatan kemudian tidak lagi dipandang sebagai segalanya atau sesuatu yang serba menentukan, karena potensi dan sesuatu yang potensial untuk dikembangkan dari peserta didik merupakan hal yang paling utama. Demikian pula, adabtasi lingkungan serta interaksi, proses pembelajaran, media serta metode belajar yang tepat dan sesuai  kebutuhan  anak menjadi kunci yang harus dipertimbangkan. Tak berhenti sampai disitu, peran orang tua, teman belajar, serta masyarakat   di luar sekolah mempunyai kontribusi yang sangat bernilai bagi

keberhasilan pencapaian peserta didik dalam setting inklusi. Dalam kontek inilah kemudian pendidikan inklusif menempatkan assessment sebagai tahapan penting. 11

Tidak mudah dan butuh waktu lama untuk sampai pada tingkat pemahaman ini, namun yang lebih sulit dan menjadi tantangan bagi upaya implementasi pendidikan inklusif yang sejatinya adalah bagaimana menyebarkan pemahaman ini di kalangan guru, profesional yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, serta stake holder lain yang berhubungan. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa negara memegang sebuah peran penting dalam mensistematikakan konsep ini melalui berbagai bentuk kebijakan pendidikan yang komprehensif, sehingga konsep ini dapat secara implementatif diterapkan.

Adanya sebuah kebijakan yang mampu menjadi acuan pelaksanaan pendidikan inklusif merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan untuk mendukung implementasinya. Dan baik atau tidaknya sebuah kebijakan, dapat diukur dari sejauh mana kebijakan tersebut mempunyai relevansi dengan prinsip utama dari sesuatu yang akan diatur dalam kebijakan tersebut.

keberhasilan pencapaian peserta didik dalam setting inklusi. Dalam kontek inilah kemudian pendidikan inklusif menempatkan assessment sebagai tahapan penting. 11

Tidak mudah dan butuh waktu lama untuk sampai pada tingkat pemahaman ini, namun yang lebih sulit dan menjadi tantangan bagi upaya implementasi pendidikan inklusif yang sejatinya adalah bagaimana menyebarkan pemahaman ini di kalangan guru, profesional yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, serta stake holder lain yang berhubungan. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa negara memegang sebuah peran penting dalam mensistematikakan konsep ini melalui berbagai bentuk kebijakan pendidikan yang komprehensif, sehingga konsep ini dapat secara implementatif diterapkan.

Adanya sebuah kebijakan yang mampu menjadi acuan pelaksanaan pendidikan inklusif merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan untuk mendukung implementasinya. Dan baik atau tidaknya sebuah kebijakan, dapat diukur dari sejauh mana kebijakan tersebut mempunyai relevansi dengan prinsip utama dari sesuatu yang akan diatur dalam kebijakan tersebut.

About the Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these