

Fakultas Hukum Universitas Surakarta Korespondensi: arie.poernomosidi@gmail.com
Berbicara tentang hak konstitusional, berarti membicarakan tentang hak dasar manusia yang dimuat dalam konstitusi. Hak-hak yang diatur dalam konstitusi merupakan batas yang tidak bisa dilanggar oleh penyelenggara Negara dalam menjalankan kekuasaan Negara, baik sebagai hak warga Negara atau hak asasi. Dalam UUD 1945 hak-hak yang secara tegas disebut sebagai hak asasi manusia yaitu sebagaimana termuat dalam Bab XA UUD 1945. Salah satu hak konstitusional yang diatur dalam UUD NRI 1945 adalah hak konsitutisional penyandang disabilitas. Hak konstitusional penyandang disabilitas ini perlu untuk diatur baik dalam konstitusi maupun di dalam undang-undang yang bertujuan bukan hanya untuk menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan para penyandang disabilitas, tetapi juga memberikan tanggung jawab pada pemerintah dan masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat para penyandang disabilitas.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) me –
nyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut bahwa dalam negara Indonesia hukum ditempatkan dalam kedudukan tertinggi dalam rangka penyeleng- garaan negara. Dalam penyelenggara- an negara tersebut, hukum dibentuk kedalam suatu konstitusi, yang dalam hal ini adalah UUD 1945. Menurut
J.G. Steenbeek, konstitusi sebagai aturan dasar tertinggi dalam suatu negara minimal memuat tiga hal pokok yaitu: (1) adanya jaminan dan penghormatan terhadap Hak asasi manusia dan warga negaranya; (2) ditetapkannya susunan kenegaraan suatu negara yang bersifat funda- mental; dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.1
Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia maupun hak warga negara menjadi inti dari konsepsi negara hukum. Oleh karena itu, segala norma hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan negara harus diorientasikan kepada perlindungan dan pemenuhan HAM dan hak warga negara.2 Dalam praktik penyelengga- raan negara hukum, diperlukan ada- nya instrumen dan institusi hukum untuk menjaga dan menjamin per- lindungan dan pemenuhan hak warga negara. Instrumen dan institusi hukum inilah yang menjadi ciri dari negara hukum, yang berkembang baik dalam tradisi hukum civil law dengan konsep rechtsstaat3 maupun dalam tradisi hukum common law dengan konsep the rule of law.4
Hak-hak yang diatur dalam kons- titusi merupakan batas yang tidak bisa dilanggar oleh penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan negara, baik sebagai hak warga negara atau hak asasi. Dalam UUD NRI 1945 hak-
hak yang secara tegas disebut sebagai hak asasi manusia yaitu sebagaimana termuat dalam Bab XA UUD NRI 1945. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada harkat dan mar- tabat manusia sejak lahir, seperti hak untuk hidup, hak untuk diperlakukan sama dan hak untuk mendapat kepas- tian hukum dan keadilan serta seju- mlah hak-hak asasi lainnya. Hak asasi tersebut pada hakikatnya dika- takan tidak tergantung pada negara, dan telah ada sebelum negara lahir.5 Ruang lingkup manusia sebagai- mana dimaksud mencakup siapapun tanpa terkecuali termasuk di dalam- nya penyandang disabilitas. Penegas- an mengenai lingkup itu sangat pen- ting, karena HAM bagi penyandang disabilitas masih kerap diabaikan, bahkan dilanggar. Pelanggaran terjadi karena penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai bagian dari warga negara, bahkan juga tidak dianggap manusia.6 Kondisi tersebut meng- akibatkan para penyandang disabilitas tidak mendapatkan perlindungan yang layak. Sehingga penyandang disabilitas rentan untuk dijadikan alat produksi yang murah, misalnya menjadi pekerja anak dan buruh
perempuan yang selalu dibayangi tindakan pelanggaran HAM. Dalam kondisi itu, penyandang disabilitas rentan terkena tindakan diskrimi- natif ganda, yaitu ketika seorang penyandang disabilitas merupakan seorang anak, perempuan, dan lanjut usia.
Mengacu pada banyaknya jumlah penyandang disabilitas, semestinya memang tidak terjadi pembedaan perlakuan pemenuhan hak antara orang yang normal dengan penyan- dang disabilitas. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan para penyandang disabilitas. 7
Pengertian Penyandang Disabilitas Perlu dijelaskan bahwa dalam tulisan ini, digunakan istilah pe- nyandang disabilitas dibandingkan istilah penyandang cacat. Alasan digunakan istilah penyandang disabi- litas dikarenakan istilah penyandang cacat selama ini dipakai dalam meng- gambarkan sosok anak cucu Adam yang mengalami kelainan fisik dan/ atau mental.8 Sehingga istilah pe
nyandang cacat tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip HAM dan me- rendahkan harkat dan martabat manusia. Menurut John C. Maxwell, pe- nyandang disabilitas merupakan se- seorang yang mempunyai kelainan dan/atau yang dapat mengganggu aktivitas.9 Sementara itu, Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016) menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keter- batasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambat- an dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesama- an hak. Dari definisi tersebut, penyan- dang disabilitas berdasarkan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2016 dapat dikate- gorikan kedalam empat kelompok, yaitu:
Penyandang Disabilitas fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
Penyandang Disabilitas intelek- tual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.Penyandang Disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
psikososial di antaranya skizo- frenia, bipolar, depresi, anxie- tas, dan gangguan kepribadian; dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
Penyandang Disabilitas sen- sorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Sementara itu, Organisasi Kese- hatan Dunia (WHO atau World Health Organization) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatas- nya kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal. Sehingga oleh WHO, terdapat tiga kategori disabili-tas, yaitu:
Handicap, yaitu keadaan yang me- rugikan bagi seseorang akibat
adanya impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan pe- ranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersang- kutan.10
Penyandang disabilitas adalah anggota masyarakat dan memiliki hak untuk tetap berada dalam komunitas lokal. Para penyandang disabilitas harus menerima dukungan yang dibutuhkan dalam struktur pendidik- an, kesehatan, pekerjaan dan pela- yanan sosial. Sehingga hak-hak pe- nyandang disabilitas dalam persektif HAM dikategorikan sebagai hak khu- sus bagi kelompok masyarakat ter- tentu.11
Berbicara tentang hak konstitu- sional, berarti membicarakan ten- tang hak dasar manusia yang dimuat dalam konstitusi. Hak konstitusional penyandang disabilitas ini perlu untuk diatur baik dalam konstitusi maupun di dalam undang-undang yang bertujuan bukan hanya untuk menjamin peme- nuhan hak dan kebutuhan para pe- nyandang disabilitas, tetapi juga memberikan tanggung jawab pada pemerintah dan masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam meningkat- kan harkat dan martabat para penyan- dang disabilitas. Selain itu, pengaturan hak penyandang disabilitas ke dalam konstitusi maupun undang- undang diharapkan dapat memperkuat komitmen untuk kemajuan dan perlin- dungan terhadap hak penyandang disabilitas di Indonesia. Dengan demi- kian, hak penyandang disabilitas ini akan menjadikannya sebagai hak yang dilindungi secara konstitusional atau hak konstitusional (constitutional rights). Penyandang disabilitas memiliki hak fundamental layaknya manusia pada umumnya dan penyandang disabilitas memperoleh perlakuan khusus dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan ter- hadap berbagai pelanggaran HAM. Sebagai hak konstitusional, bentuk hukum hak-hak penyandang disabi- litas dapat diatur dalam tiga bentuk yaitu: (1) diatur konstitusi, dalam hal ini Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945;
(2) diatur dalam suatu undang-undang
berikut sanksi hukuman bagi pelang- garnya (contoh: diatur dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan UU No. 8 Tahun 2016); (3)
diatur dalam Peraturan Daerah (contoh: Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pemenuhan Hak Penyan- dang Disabilitas). Landasan hak konstitusional yang mengatur perihal perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 28H ayat (2) jo. Pasal 28I
ayat (2) UUD NRI 1945. Pasal 28H ayat
(2) mengatur bahwa, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dalam konteks Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 diperjelas dengan Pasal 5 ayat (3) jo Pasal 42 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999. Pasal
5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh per- lakuan dan perlindungan lebih ber- kenaan dengan kekhususannya.” Pe- ngaturan ini diperkuat oleh Pasal 42 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan per- lakuan khusus.
Dengan pemaknaan di atas, me-
negaskan bahwa kelompok penyan- dang disabilitas termasuk dalam terminologi “setiap orang” dalam ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, dalam penafsiran tersebut juga disebutkan bahwa makna dari “kemudahan” dan “perlakuan khusus” bukanlah dipahami dalam makna perlakuan yang diskriminatif, tetapi tetap dalam lingkup pemenuhan hak konstitusional. Oleh sebab itu, para penyandang disabilitas memiliki keduduk-an, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabili- tas tanpa adanya diskriminasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak men- dapatkan perlindungan terhadap per- lakuan yang bersifat diskriminatif itu. Penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan khusus. Setidaknya ter- dapat dua makna perlakuan khusus, yang pertama perlakuan khusus ini adalah sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi12 dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggar- an hak asasi manusia. Perlakuan khu- sus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pema- juan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal. Sedang- kan yang kedua perlakuan khusus disini adalah bentuk keberpihakan kepada penyandang disabilitas berupa perlakuan khusus dan atau perlin- dungan yang lebih sebagai kompen- sasi atas disabillitas yang disandang- nya demi memperkecil atau meng- hilangkan dampak disabilitas se- hingga memungkinkan untuk me- nikmati, berperan dan berkontribusi secara optimal, wajar dan bermar- tabat dalam segala aspek kehidupan
berbangsa, bernegara dan berma- syarakat.13
Dari penjelasan di atas maka UUD NRI 1945 sudah dengan tegas melindungi hak konstitusional pe- nyandang disabilitas dalam konteks “setiap orang” maupun sebagai bagian dari “warga negara”. Selain itu, pe- nyandang disabilitas pun dimung- kinkan untuk mendapatkan affir-mative action atau hak atas kemudahan dan perlakuan khusus dalam konteks pemenuhan hak konstitusionalnya tersebut. Kedua konsep tersebut harus dipahami dan diresapi dalam pemben- tukan peraturan perundang-undang- an maupun kebijakan sebagai pelak- sanaan dari ketentuan dalam UUD NRI 1945. Oleh sebab itu Pasal 28H ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 menjadi landasan yuridis bagi UU No. 8 Tahun 2016. Berdasar-kan
UU No. 8 Tahun 2016, hak-hak
penyandang disabilitas dapat dikate- gorikan kedalam tiga kategori yaitu:
Pertama, hak penyandang dis- abilitas. Terkait dengan hak-hak pe- nyandang disabilitas, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016.
Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas memiliki 22 (dua puluh dua) hak. Hak-hak ter- sebut adalah: (1) hak untuk hidup;
(2) bebas dari stigma; (3) privasi; (4) keadilan dan perlindungan hukum; (5) pendidikan; (6) pekerjaan, kewira – usahaan, dan koperasi; (7) kesehatan; (8) politik; (9) keagamaan; (10) keolah
ragaan; (11) kebudayaan dan pari – wisata; (12) kesejahteraan sosial; (13) aksesibilitas; (14) pelayanan publik;
(15) perlindungan dari bencana; (16) habilitasi dan rehabilitasi; (17) kon- sesi; (18) pendataan; (19) hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masya- rakat; (20) berekspresi, berkomuni- kasi, dan memperoleh informasi; (21) berpindah tempat dan kewargane- garaan; (22) bebas dari tindakan dis- kriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.
Kedua, hak perempuan disabili- tas. Hak untuk perempuan penyan- dang disabilitas diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2016. Menurut Pasal tersebut, perempuan penyandang disabilitas memiliki 26 (dua puluh enam) hak. Bagi perem- puan penyandang disabilitas, selain 22 (duapuluh dua) hak penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016, juga memiliki hak:
Ketiga, hak anak disabiltas. Ada- pun, anak penyandang disabilitas memiliki 29 (duapuluh sembilan) jenis
hak. Selain hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016, anak penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk: