Aspek – Aspek Criminal Justice Bagi Penyandang Disabilitas

Penulis :

Supriyadi Widodo Eddyono

Senior Researcher Associate

Ajeng Gandini Kamilah

Junior Researcher Associate

Editor:

Widiyanto

Desain Sampul :

Antyo Rentjoko

ISBN : 978-602-6909-03-9

Diterbitkan oleh:

Institute for Criminal Justice Reform Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12510 Phone/Fax : 021 7945455

Email : infoicjr@icjr.or.id http://icjr.or.id | @icjrid

Indonesia harus menempatkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, tidak terkecuali bagi para penyandang disabilitas, dalam tujuan bernegaranya sebagai perwujudan negara hukum. Dengan demikian hak dan kedudukan penyandang disabilitas secara konstitusional mempunyai posisi setara di depan hukum dan pemerintahan. Penyandang disabilitas sebagai warga negara yang memiliki kebutuhan khusus, fisik, mental, intelektual, atau sensorik, akan berhadapan dengan berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan pada asas kesetaraan dengan warga negara pada umumnya.1

Untuk itu, pembahasan kebutuhan penyandang disabilitas dengan aspek criminal justice system, dirasa sangatpenting karena beberapa alasan utama. Penyandang disabilitas akan berhadapan dengan berbagai hambatan dalam aspek hukum pidana dan hukum acara pidana di Indonesia. Mereka cenderung mengalami secondary victimization dan sistem hukum pidana Indonesia masih sangat minim mengakomodir kebutuhan khusus mereka, serta perlakuan yang adil bagi para penyandang disabilitas.

Beragam hambatan dapat menghalangi partisipasi para penyandang disabilitas dalam konteks pertanggungjawaban pidana.Dengan adanya kebutuhan khusus bukan berarti penyandang disabilitas dengan ragam tertentu menjadi kebal hukum atau tak memiliki kemampuan bertanggungjawab dalam melakukan perbuatan hukum, termasuk bahkan melakukan suatu tindak pidana. Berdasarkan Pasal 9 huruf b RUU Penyandang Disabilitas, dikemukakan bahwa penyandang disabilitas diakui sebagai subjek hukum yang merupakan pendukung hak dan kewajiban.Konsekuensinya, penyandang disabilitas dapat menuntut atau dapat dituntut seperti subjek hukum lain di muka pengadilan.

Salah satu upaya perlindungan hukum terhadap hak penyandang disabilitas tertuang dalam Pasal 248-263 RKUHP. Dalam rancangan aturan terdapat upaya kriminalisasi kepada setiap orang yang melakukan tekanan atau diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terkait hak milik, hak dalam pekerjaan, hak atas perlakuan tenaga medis yang adil, hak berpolitik, hak kemudahan akses, hak hidup, hak bertempat tinggal, hak bersekolah, hak untuk tidak dipasung, dikurung atau  disakiti bagian tubuh lainnya, hak untuk tidak dilecehkan secara seksual, direndahkan martabatnya dimuka umum, dan memanfaatkan ketidakmampuan penyandang disabilitas untuk melakukan tindak pidana.

Agaknya, salah satu permasalahan penting mengenai disabilitas dan criminal justice systemialah tidak seragamnya kategorisasi ragam penyandang disabilitas dalam berbagai peraturan perundang- undangan di Indonesia, apakah penyandang disabilitas dapat dikategorikan orang yang memiliki kecakapan hukum atau tidak, jikapun ada sejauhmana batasan kecakapan hukum seseorang penyandang disabilitas untuk menjalani proses peradilan dan bagaimana kebijakan pemerintah dalam perundang-undangan mengakomodir hak-hak dasar penyandang disabilitas terkait prosedur hukum acara pidana.

Saat ini di Indonesia setidaknya terdapat duaUU dan tiga RUU yang terkait erat dengan penyandang disabilitas. Dua UU itu adalah UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Kesehatan Jiwa) dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sedang tiga RUU yakni RUU Penyandang Disabilitas, R KUHP, dan R KUHAP. Kedua UU dan ketiga RUU tersebut secara umum terdapat beberapa pengaturan mengenai disabilitas dalam aspek Criminal Justice. Namun pengaturan antar seluruh peraturan yang ada dan direncanakan masih kurang padu untuk memperkuat perlindungan bagi penyandang disabilitas.

KONVENSI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS DAN KAITANNYA DENGAN CRIMINAL JUSTICE

2.1. Lahirnya Konvensi Penyandang Disabilitas

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang DisabilitasatauConvention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) lahir setelahpuluhan tahunPBB bekerjauntuk mengubah sikapdan pendekatan terhadappenyandang disabilitas. CRPD merupakan wujud puncak perubahan paradigma gerakan disabilitasdari cara pandang lama yang melihatpara penyandang disabilitas sebagai”obyek” amal, pengobatandan perlindungan sosial (charity atau social based)berubah menjadi human rights based.

Dengan paradigma baru penyandang disabilitas diposisikan sebagai “subyek” yang memiliki hak, yang mampumengklaim hak-haknya, dan mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka berdasarkan kesadaran sendiri serta menjadi anggota masyarakat secara aktif.

Karena itu CRPD sebagai instrumen HAM menjadi yuridis formal paling tidak mempunyai dua fungsi utama:a tool of social control dan a tool of social engineering. Sehingga eksistensi CRPD dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas harus mampu menjadi sarana kontrol terhadap semua peraturan hukum maupun kebijakan yang selama ini  belum mengakomodasi perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Hal inimenjelaskansekaligus menegaskan bahwa semua kategori hak asasi manusia berlaku untuk penyandang disabilitas serta mengidentifikasi bahwa adaptasi harus dibuat untuk menjamin bahwa para penyandang disabilitas dapat menikmati dan menjalankan hak-haknya secara efektif.2Dengan hal ini juga dapat mengidentifikasi area-area mana saja hak-hak mereka telah dilanggar serta menegaskan bahwa perlindungan hak-hak penyandang disabilitas harus diperkuat dan diletakkan secara proporsional.

Sebelumnya, pada tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Protokol Opsional (The Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol) dan ditandatangani pada tanggal 30 Maret 2007. Resolusi tersebut memuat hak- hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini.

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities / CRPD) dan Protokol Opsional yang mulai berlaku pada 3 Mei 2008, setelah konvensi ini diratifikasi 20 negara dan Protokol Opsionalnya diratifikasi oleh 10 negara. Konvensi ini disertai dengan protokol opsional yang bisa digunakan untuk menerapkan dokumen di negara-negara pihak. Protokol opsional ini juga merupakan traktat internasional. Protokol opsional mencakup dua prosedur yang ditujukan untuk memperkuat penerapan dan pengawasan konvensi, dimana kondisi ini tidak terletak pada kondisi seseorang, tetapi terletak pada interaksinya dengan lingkungan sekitar.

Berdasarkan Konvensi negara harus mengambil langkah positif agar hak para penyandang disabilitas dapat dipenuhi sebagai berikut:3

  1. 153 penandatangan konvensi sejak pembukaan penandatanganan
    1. 90 penandatangan Protokol Opsional sejak pembukaan penandatanganan
    1. 119 ratifikasi dan aksesi terhadap Konvensi
    1. 72 ratifikasi dan aksesi Protokol Opsional

Pada 30 Maret 2007, Pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD), dengan urutan ke-9. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Selanjutnya, Menteri Sosial mengajukan proses ratifikasi kepada Menteri Luar Negeri untuk selanjutnya meminta ijin prakarsa kepada Presiden. Menteri Sosial memperoleh Persetujuan Izin Prakarsa proses ratifikasi Konvensi ini melalui Surat Menteri Sekretaris Negara No.B-72/M.Sesneg/D-4/02/2009 tanggal 17 Februari 2009.

Proses terjemahan terus berlangsung bersamaan dengan pembuatan Naskah Akademik dan Rancangan   Undang-Undang   tentang   Pengesahan   Convention   on   the   Rights    of    Persons with Disabilities.Setelah terjemahan resmi naskah Konvensi disepakati dan Naskah Akademis serta RUU Pengesahan dibuat, pada tanggal 31 Desember 2010 dilakukan proses harmonisasi perundang- undangan dengan menghadirkan wakil dari berbagai kementerian di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan HAM. Pada waktu itu juga tersirat keinginan untuk meratifikasi semua pasal CRPD, kecuali Optional Protocol (Protokol Pilihan).

Indonesia memang menandatangani Konvensi tanpa reservasi, namun tidak menandatangani maupun meratifikasi Optional Protocol (Protokol Pilihan)Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.4 Indonesia tidak memilih Optional Protocol karena menurut Pemerintah Indonesia, Indonesia tidak menganut sistem pengaduan individual pada Komisi HAM Internasional.5 Ini sebetulnya bukan pilihan yang baik.

Pada 23 Juni 2011, Presiden mengeluarkan surat kepada DPR Nomor R-31/pres/06/2011 perihal RUU tentang pengesahan CRPD. Presiden menugaskan Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Sosial untuk melakukan proses ratifikasi, yaitu proses mengadopsi perjanjian international ke dalam undang-undang secara mengikat dan memiliki kepastian hukum di Indonesia. Akhirnya Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 10 November 2011. Ratifikasi ini ditandai dengan pengesahan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

2.1. Pengaturan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Menyangkut Aspek Criminal Justice

Terdapat beberapa pengaturan dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas ini yang menyangkut aspek Criminal Justice, diantaranya:

Terkait Akomodasi Khusus Dalam Sektor Peradilan

Pasal 2

Definisi “Diskriminasi berdasarkan Disabilitas” dan “Akomodasi yang beralasan”

Diskriminasi atas dasar kecacatan” berarti pembedaan, eksklusi, atau pembatasan apa pun atas dasar kecacatan yang bertujuan untuk atau berdampak pada perusakan atau penghapusan terhadap pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dalam hal politik, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya, berdasarkan kesetaraan dengan orang-orang lain. Hal ini termasuk segala bentuk diskriminasi, termasuk penyangkalan atas akomodasi yang layak;

Akomodasi yang beralasan” berarti modifikasi dan penyesuaian yang perlu dan sesuai, dengan tidak memberikan beban tambahan yang tidak proporsional atau tidak semestinya, apabila diperlukan dalam kasus tertentu, guna menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya;

Terkait Perlindungan Hukum yang Setara

Pasal 5

Persamaan dan Nondiskriminasi

  1. Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah setara di hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa diskriminasi, untuk mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara.
  2. Negara-Negara Pihak harus melarang semua diskriminasi yang didasari oleh disabilitas serta menjamin perlindungan hukum yang setara dan efektif bagi penyandang disabilitas terhadap dikriminasi yang didasari oleh alasan apa pun.
  3. Dalam rangka memajukan kesetaraan dan menghapuskan diskriminasi, Negara-Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menjamin tersedianya akomodasi yang beralasan.
  4. Kebijakan-kebijakan khusus yang diperlukan untuk mempercepat atau mencapai kesetaraan de facto bagi penyandang disabilitas tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi di bawah ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi ini.

Pasal 6

Perempuan penyandang cacat

Negara-negara Pihak mengakui bahwa perempuan dan anak-anak perempuan penyandang cacat menjadi subyek diskriminasi berganda dan oleh karenanya harus mengambil langkah- langkah untuk menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental mereka secara penuh dan setara.

Pasal 7

Anak-anak penyandang cacat

  1. Negara-negara Pihak harus melakukan semua langkah yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar anak-anak penyandang cacat secara penuh atas dasar kesetaraan dengan anak-anak lain.
  • Dalam segala tindakan berkaitan dengan anak-anak penyandang cacat, kepentingan terbaik bagi si anak tersebut harus menjadi bahan pertimbangan utama.
  • Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa anak-anak penyandang cacat mempunyai hak untuk menyatakan pendapat mereka secara bebas mengenai berbagai hal yang mempengaruhi kehidupan mereka atas dasar kesetaraan dengan anak-anak lain, di mana pandangan mereka tersebut dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kedewasaan mereka, dan menjamin bahwa anak-anak penyandang cacat disediakan bantuan yang selayaknya sesuai dengan kecacatan dan usia mereka demi perwujudan hak tersebut.

Perlakuan yang Sama di Hadapan Hukum

Pasal 12

Pengakuan yang setara di hadapan hukum

  1. Negara-negara Pihak menegaskan kembali bahwa orang-orang penyandang cacat memiliki hak atas pengakuan di hadapan hukum.
  2. Negara-negara Pihak harus mengakui bahwa orang-orang penyandang cacat berhak menikmati kapasitas legal atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain dalam berbagai aspek kehidupan.
  3. Negara-negara Pihak harus melakukan langkah-langkah yang layak untuk menyediakan akses terhadap dukungan yang dibutuhkan oleh orang-orang penyandang cacat dalam melaksanakan kapasitas legal mereka.
  4. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa semua langkah yang berhubungan dengan pelaksanaan kapasitas legal mereka dengan menyediakan jaminan yang layak dan efektif untuk mencegah pelanggaran sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional. Jaminan semacam itu harus menjamin bahwa langkah-langkah yang berhubungan dengan pelaksanaan kapasitas legal menghormati hak, keinginan dan pilihan orang-orang, bebas dari konflik kepentingan dan pengaruh yang berlebihan, proporsional dan disesuaikan dengan kondisi orang-orang, hanya berlaku untuk jangka waktu yang sependek mungkin, dan menjadi subyek tinjauan berkala oleh kewenangan yang kompeten, independen, dan imparsial atau suatu badan yudisial. Jaminan tersebut harus proporsional sehingga langkah-langkah tersebut dapat mempengaruhi hak dan kepentingan dari orang-orang.

Pasal 13

Akses terhadap Keadilan

  1. Negara-Negara Pihak harus menjamin akses yang efektif terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, termasuk melalui pengaturan akomodasi secara prosedural dan sesuai dengan usia, dalam rangka memfasilitasi peran efektif penyandang disabilitas sebagai partisipan langsung maupun tidak langsung, termasuk sebagai saksi, dalam semua persidangan, termasuk dalam penyidikan dan tahap-tahap awal lainnya.
  2. Dalam rangka menolong terjaminnya akses efektif terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas, Negara-Negara Pihak harus meningkatkan pelatihan yang sesuai bagi mereka yang bekerja di bidang penyelenggaraan hukum, termasuk polisi dan sipir penjara.

Pasal 14

Kebebasan dan Keamanan Penyandang Disabilitas

  1. Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya:
    1. Menikmati hak atas kebebasan dan keamanan;
  • Tidak dicabut kebebasannya tanpa alasan hukum atau secara sewenang-wenang, dan bahwa setiap pencabutan kebebasan adalah selaras dengan hukum, dan bahwa adanya disabilitas tidak boleh menjadi alasan pembenaran bagi pencabutan kebebasan.
  • Negara-Negara Pihak harus menjamin jika penyandang disabilitas dicabut kebebasannya melalui proses apa pun, mereka berhak, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap jaminan-jaminan yang selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional dan harus diperlakuan sesuai dengan tujuan dan prinsip Konvensi ini, termasuk ketentuan akomodasi yang beralasan.

Pasal 15

Kebebasan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia

  1. Tidak seorangpun boleh disiksa atau mendapat perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Secara khusus, tidak seorangpun boleh dijadikan percobaan medis atas ilmiah tanpa persetujuan bebas dari yang bersangkutan.
  2. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan peraturan perundang-undangan, administratif, yudisial atau kebijakan lainnya yang efektif guna mencegah penyandang disabilitas, berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya, menjadi korban dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Pasal 16

Kebebasan dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Pelecehan

  1. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang sesuai di bidang peraturan perundang-undangan, administratif, sosial, pendidikan dan kebijakan lainnya untuk melindungi penyandang disabilitas dari semua bentuk eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan, termasuk aspek-aspek berbasis gender dari tindakan-tindakan tersebut, baik di dalam maupun di luar rumah;
  2. Negara-Negara Pihak harus juga mengambil kebijakan yang sesuai untuk mencegah semua bentuk eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan dengan menjamin, antara lain, bahwa bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penyandang disabilitas, keluarganya, dan perawatnya, sesuai bentuknya dan sensitif terhadap gender serta usia, termasuk menyediakan informasi dan pendidikan tentang bagaimana mencegah, mengenali dan melaporkan kasus-kasus eksploitasi, kekerasan dan pelecehan. Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa pelayanan perlindungan bersifat sensitif usia, gender dan disabilitas.
  3. Untuk mencegah terjadinya segala bentuk eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, Negara- Negara Pihak harus menjamin bahwa semua fasilitas dan program didesain untuk melayani penyandang disabilitas dipantau secara efektif oleh otoritas independen.
  4. Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai guna memajukan pemulihan fisik, kognitif dan psikologis, rehabilitasi dan reintegrasi sosial penyandang disabilitas yang menjadi korban dari segala bentuk eksploitasi, kekerasan atau pelecehan, termasuk melalui penyediaan pelayanan perlindungan. Pemulihan dan reintegrasi tersebut harus dilaksanakan dalam lingkungan yang menjamin kesehatan, kesejahteraan, penghormatan, martabat dan kemandirian orang serta harus mempertimbangkan kebutuhan yang berdasarkan gender dan usia.
  5. Negara-Negara Pihak wajib memberlakukan kebijakan dan perundang-undangan yang efektif, termasuk kebijakan dan perundang-undangan yang terfokus pada kaum perempuan dan anak untuk menjamin bahwa eksploitasi, kekerasan dan kekejaman, terhadap penyandang disabilitas diidentifikasi, diselidiki, dan apabila perlu dihukum.

Ini berarti bahwa orang dengan kecacatan harus dilindungi oleh hukum, dan dapat menggunakan hukum dan berpartisipasi dalam semua tahap proses dan prosedur pada hukum dasar kesetaraan dengan orang lain dalam masyarakat. Konvensi ini memberikan sebuah penekanan bahwa Negara harus mengambil langkah positif agar hak para penyandang disabilitas dapat dipenuhi. Hak tersebut termasuk hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya. Fasilitas juga mesti diperbaiki, termasuk fasilitas pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan fasilitas peradilan. Hal ini dilakukan agar penyandang disabilitas hidup secara setara dan sejajar dengan yang lain.

CRIMINAL JUSTICE DAN DISABILITAS

  • Pentingnya Penguatan Criminal Justice Dalam Merespon Disabilitas

Berdasarkan data terakhir dari WHO (2011) menyebutkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di dunia pada tahun 2010 adalah sebanyak 15,6 persen dari total populasi dunia atau lebih dari 1 (satu) milyar. Jika penduduk Indonesia saat ini sebanyak 247 juta jiwa, itu berarti jumlah penyandang disabilitas berdasarkan estimasi WHO tersebut di atas sekitar 37.091.000 jiwa.6Tingkat prevalensi penyandang disabilitas pada tahun 2007 di Indonesia adalah sebanyak 21,3 persen.

Data World Bank (Pozzan, 2011) menyebutkan bahwa sebanyak 80 persen penyandang disabilitas yang tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami kerentanan, keterbelakangan dan hidup di bawah garis kemiskinan sehingga termarjinalisasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budayasertacenderung tidak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, politik, ketenagakerjaan dan informasi.7

Aparatur negara belum memiliki pengetahuan tentang penyandang disabilitas dan kedisabilitasan sehingga kebijakan yang diambil sering berdampak pada penghilangan hak, menghalangi hak, dan/atau pengurangan hak. Sikap keluarga dan lingkungan masyarakat seringkali merugikan penyandang disabilitas dengan mengecapnyadengan stigma negatif, stereotip, menganggap kutukan, dosa, dan hukuman.Stigmatisasi negatif ini melahirkan tindakan keluarga dan masyarakat yang diskriminatif dan potensial melanggar hak penyandang disabilitasi.

Dalam konteks regulasi, peraturan perundangan yang ada cenderung bersifat basa basi atau setengah hati dalam melindungi penyandang disabilitas. Peraturan perundangan terkait tidak diikuti oleh peraturan-peraturan turunan yang dapat menjadi dasar implementasi.8 Banyak studi yang ada telah melihat relevansi aspek criminal justice terkait respon atas disabilitas, studi-studi  tersebut telah memberikan beberapa konsensus penting mengapa Aspek-aspek Criminal Justice harus memberikan perhatian kepada disabilitas. Beberapa argumen yang telah menjadi konsensus tersebut tersebut yakni:Pertama, Orang yang menyandang disabilitas, baik secara intelektual, kognitif atau perkembangan, lebih sering terlibat kasus hukum, baik sebagai korban dan tersangka/pelaku, daripada individu yang tidak menyandang disabilitas.9 Karena Penyandang Disabilitas khususnya ragam penyandang disabilitas intelektual dan mental yang terlibat baik sebagai korban maupun tersangka/pelaku lebih rentan menjadi korban sistem peradilan pidana daripada individu yang tidak memiliki disabilitas.

Beberapa peneliti telah menemukan bahwa orang dengan disabilitas memiliki risiko 4-10 kali lebih tinggi menjadi korban kejahatan bila dibandingkan mereka yang tidak memiliki masalah disabilitas.11 Ada beberapa ragam penyandang disabilitas dalam kelompok ini yang mungkin merasa sangat rentan yang mengalami kejahatan seperti kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Kelompok ini dapat merasa terpinggirkan karena jenis kelamin, disabel, dan kurangnya layanan dan perlindungan. Selain itu, anak-anak dengan jenis disabilitas memiliki kemungkinan 3 – 4 kali bahkan lebih untuk diperlakukan dengan buruk dibandingkan dengan anak- anak bukan disabel.12 Kondisi ini diperparah ketika kita melihatindividu penyandang disabilitas yang berada di lembaga pemasyarakatan.

Menurut Jones, pelaku dengan ketidakmampuan belajar atau yang mengalami gangguan intelektual atau gangguan fungsi adaptif dengan lingkungannya, memiliki gangguan kemampuan pula dalam mengatasi ketidakmampuan mereka jika dihadapkan dengan sistem peradilan pidana. Mereka adalah kelompok rentan yang memiliki kemungkinan besar menjadi target atau sasaran para tahanan di lembaga pemasyarakatan dan memiliki ketidakmampuan untuk mengatasi hal tersebut, belum lagi jika perilaku penyandang disabilitas yang berperilaku aneh dipandang orang umum justru dimanfaatkan bahkan dialamatkan pada penyandang disabilitas dengan alasan mereka telah melakukan perilaku yang menyimpang.

Menurut Mahogany Wright beberapa tanggapan umum dari orang-orang dengan penyandang disabilitas intelektual yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk melindungi hak-hak mereka adalah sebagai berikut:

Sebagai tersangka, individu penyandang disabilitas tersebut seringkali dilabeli bahwa:

  • Penyandang Disabilitas tidak ingin ketidakmampuan mereka untuk diakui dan orang bukan penyandang disabilitas pikir para penyandang disabilitas tersebut mencoba untuk menutupi ke-disabilitas-annya
  • Penyandang Disabilitas tidak memahami hak-hak mereka, namun seolah-olah mereka paham
  • Penyandang Disabilitastidak mengerti perintah, instruksi, dan lain-lain
  • Penyandang Disabilitasselalu merasa terganggu oleh kehadiran polisi
  • Penyandang Disabilitas selalu bertindak marah pada ditahan dan / atau mencoba melarikan diri
  • Penyandang Disabilitas mengatakan apa yang mereka pikirkan dan ingin para petugas tersebut dapat memahami pikiran mereka
  • Penyandang Disabilitasmengalami kesulitan menjelaskan fakta atau rincian pelanggaran
  • Penyandang Disabilitas menjadi orang yang pertama meninggalkan TKP, namunselalu yang pertama kali tertangkap
  • Penyandang Disabilitas memiliki kebingungan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas kejahatan atau justru dirinya harus “mengaku” bersalah saja atas apa yang tidak ia lakukan

Sebagai korban, individu penyandang disabilitas tersebut seringkali dilabeli bahwa:

  • Penyandang Disabilitas mudah menjadi target korban
  • Penyandang Disabilitas sebagai korban memiliki lebih kecil kemungkinanuntuk melaporkan kejadian yang pernah dialaminya
  • Penyandang Disabilitas merupakan tipikal yangmudah dipengaruhi dan selalu bersemangat untuk menyenangkan orang lain. Penyandang Disabilitas berpikir bahwa mereka hanya diperlakukansecara normal dan tidak menyadari bahwa dirinya korban adalah kejahatan
  • Penyandang Disabilitas berpikir pelaku adalah “teman”
  • Penyandang Disabilitas tidak dapat menyadari seberapa serius atau berbahaya situasi
  • Penyandang Disabilitas dianggap sebagai saksi yang tidak kredibel, bahkan dalam situasi di mana kondisi tersebut tidak masuk akal.
  • Penyandang Disabilitas memiliki keterbatasan pengetahuan atau cara untuk mendapatkan bantuan, sampai ke tempat yang aman atau memperoleh layanan korban atau konseling

Individu penyandang disabilitas dengan status tersangka, meskipun memiliki jumlah yang sedikit, namun persentasenya menunjukkan peningkatan. Pelaku tindak pidana yang memiliki disabilitas intelektual misalnya, terdiri dari 2% – 3% dari populasi umum, mereka juga mewakili 4% sampai 10% dari populasi penjara.15 Satu studi menunjukkan pada jumlah penyandang disabilitas di penjara negara bagian dan federal Amerika menemukan bahwa kurang dari 1% narapidana memiliki cacat fisik/disabilitas fisik, sementara 4,2% memiliki keterbelakangan mental/disabilitas intelektual.16

Kedua, Faktor-faktor seperti gangguan kemampuan kognitif dan penilaian, cacat fisik, perilaku adaptif tidak cukup, interaksi konstan dengan “pelindung” yang mengeksploitasi mereka, kurangnya pengetahuan tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dan hidup dan bekerja di  lingkungan berisiko tinggi meningkatkan kerentanan terhadap korban.17 Kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang dengan penyandang disabilitas intelektual seringkali dicap hanya sebagai kekerasan dan penelantaran (bukan penyerangan, pemerkosaan atau pembunuhan), yang understates masalah korban kejahatan. Banyak korban dengan penyandang disabilitasintelektual mungkin tidak melaporkan kejahatan karena ketergantungan mereka pada pelaku. Barangkali relasi ini juga untuk mengamankan kebutuhan dasar penyandang disabilitasuntuk bertahan hidup. Ketika korban tidak melaporkan kejahatan, polisi dan pejabat pengadilan tidak dapat mengambil tuduhan bahwa orang tersebut serius atau enggan untuk terlibat. Selain itu, orang dengan penyandang disabilitas intelektual seringkali tidak memiliki akses ke dalam support system yang mereka butuhkan untuk menuntut hak dan melaporkan pelaku kejahatan.

Ketiga, terkait disabilitas yang menjadi pelaku kejahatan, terdapat sejumlah faktor sosial dan faktor ekonomi yang menyebabkan orang dengan penyandang disabilitas intelektual untuk memiliki risiko yang lebih tinggi dari keterlibatan dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dapat menjadi masalah seperti kurangnya kontaksosial yang positif, akses untuk mendapatkan pelayanan yang memadai, selama sebelum, saat dan setelah penahanan; permasalahan uang/biaya, dan lain sebagainya.

Beberapa orang dengan cacat intelektual melakukan kejahatan bukan karena mereka memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, tetapi karena pengalaman mereka yang unik secara pribadi, pengaruh lingkungan dan perbedaan individu. Selama tahun 1900-an, beberapa kalangan

profesional percaya bahwa individu dengan penyandang disabilitas intelektual cenderung untuk menjadi penjahat karena difabilitas ini. Namun pandangan ini kehilangan dukungan sejaktahun 1930-an ketika para penguasa mencabut kepercayaan asli mereka dan memiliki pergeseran pandangan bahwa fokus penyebab kejahatan telah bergeser dari alasan biologis menjadi padaalasan psikologis dan sosiologis. Penelitian dari pertengahan tahun 1980-an ke 1990-an menemukan bahwa jenis kejahatan yang dilakukan mulai dari kejahatan properti, seperti pencurian atau perampokan, menyerang fisik dan seksual,dan bahkan beberapa telah dituduh melakukan pembunuhan. Salah satu peneliti menemukan bahwa banyaknya penyandang disabilitas yang melakukan pelanggaran seksual adalah juga korban seksual, dan bahwa pengalaman mereka sebagai korban terkait dengan pengalaman kemudian mereka sebagai pelaku.18

Keempat, Hampir semua orang dengan penyandang disabilitas intelektual pada jaman sekarang tinggal di masyarakat yang rentan terhadap terlibat dalam sistem peradilan pidana, baik itu sebagai tersangka dan/atau korban. Sebagai tersangka, individu dengan cacat ini sering digunakan oleh penjahat lainnya untuk membantu dalam kegiatan melanggar hukum tanpa memahami keterlibatan mereka dalam kejahatan atau konsekuensi dari keterlibatan mereka. Para penyandang difabilitas juga kemungkinanbesar memiliki kebutuhan yang kuat untuk diterima dan kemungkinan besar pula setuju untuk membantu melakukan kegiatan kriminal demi mendapatkan persahabatan. Banyak orang yang sengaja memberikan tanggapan sehingga disalahpahami oleh petugas, yang justru jika hal tersebut dibiarkan, maka akan meningkatkan kerentanan mereka untukditangkap, ditahan, dan dieksekusi, meskipun mereka sendiri tidak melakukan kejahatan (Perske, 2003).

Mengingat terdapat celah kelemahan yang ekstrim seperti itu, tidak mengherankan bahwa orang- orang dengan penyandang intelektual lebih mungkin untuk ditangkap, dihukum, dijatuhi hukuman penjara dan menjadi korban di penjara. Setelah dalam sistem peradilan pidana, orang-orang tersebut cenderung untuk menerima percobaan atau pembebasan bersyarat dan cenderung untuk dipaksa mengerti suatu kalimat lagi meskipun mereka telah diketahui memiliki ketidakmampuanuntuk memahami atau beradaptasi dengan aturan penjara.

Kelima, Penyandang cacat sering menghadapi ketidakadilan dalam sistem yang tidak dirancang untuk menangani sejumlah besar penyandang disabilitas. Saat ini semakin besar jumlah orang dengan penyakit mental, disabilitas kognitif atau disabilitas fisik yang dihadirkan dan dimasukkan ke dalam sistem pemasyarakatan orang dewasa pada umumnya. Diperkirakan bahwa sebanyak 50 persen dari tahanan memiliki penyakit mental atau ragam jenis disabilitas lainnya.Dengan tidak mengakomodasi kondisi penyandang disabilitas, lembaga pemasyarakatan telah menjadi “rumah sakit jiwa baru” -merupakan respon yang mahal untuk perawatan kesehatan mental.19

Dalam kasus pidana, sejak mulai dari penangkapan penyandang disabilitastampaknya telah menghadapi sistem yang tidak dirancang untuk menangani sejumlah besar penyandang cacat. Kurangnya akses ke perawatan kesehatan mental masyarakat dan pelayanan publik lainnya sering mengakibatkan penyandang disabilitas yang ditangkap dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan yang tak memadai tidak mungkin dapat memberikan perawatan. Mereka yang terbukti bersalah dan terbatas dalam fasilitas pidana cenderung untuk dipaksa memahami kalimat lama seperti sebelumnya yakni“dihukum karena kejahatan yang sama”, dan kondisi lembaga pemasyarakatanakan tetap merespon keras meskipun mereka menyandang gelar disabilitas.

Pada 2013 terbit sebuah laporan Australian Human Rights Commission berjudulAccess To Justice In The Criminal Justice System For People With Disabilityyang berisi tentang kumpulan informasi dan

kisah-kisah nyata dari para penyandang disabilitas. Laporan itumenunjukkan bahwa penyandang disabilitas yang membutuhkan dukungan komunikasi atau yang memiliki kompleks dan beberapa kebutuhan dukungan, tidak terpenuhi dan tidak terlindungi hak-hak mereka, dan tidak diperlakukansama, dalam sistem peradilan pidana.Dokumen tersebut telah mengidentifikasi 5 hambatan utama yang membatasi atau mencegah akses terhadap keadilan bagi orang-orang penyandang disabilitas. Hambatan kunci ini dapat diringkas sebagai berikut:

Hambatan 1. Dukunganlingkungan/komunitas/masyarakat, program dan bantuan untuk mencegah kekerasan dan kerugian untukmengatasi berbagai kesehatan dan risiko sosial faktor mungkin tidak tersedia untuk beberapa orang dengan disabilitas. Ini berarti bahwa orang penyandang disabilitasdibiarkan tanpa perlindungan dan menghadapi kekerasan yang sedang berlangsung, atau berulang kontak dengan sistem peradilan pidana karena tidak tepatnya program dan tidak tersedianya dukungan dari masyarakat.

Hambatan 2. Orang dengan disabilitas yangtidak menerima dukungan, penyesuaian atau alat bantu, maka mereka perlu perlindungan akses, untuk memulai atau menghadapipermasalahan pidana, atau untuk berpartisipasi dalam proses peradilan pidana.

Hambatan 3. Sikap negatif dan asumsi tentang penyandang disabilitas sering hasilnya pada orang dengan disabilitas yang dipandang tidak dapatdiandalkan, tidak kredibel atau tidak mampu memberikan bukti, membuat keputusan hukum atau berpartisipasi dalam proses hukum.

Hambatan 4. Dukungan spesifik, akomodasi dan program mungkin tidak diberikan kepada orang- orang dengan disabilitasketika mereka dianggap tidak mampu memahami atau menanggapi  tuntutan pidana yang dilakukan terhadap mereka (‘tidak layak untuk memohon’). Sebaliknya, mereka sering ditahan, di penjara tanpa batas waktu atau kejiwaan Fasilitas tanpa dihukum karena kejahatan. Situasi ini terutama terjadi pada orang dengan penyandang disabilitasintelektual, yang memiliki gangguan kognitif dan penyandang disabilitaspsikososial.

Hambatan 5. Dukungan alat bantu yang sesuai mungkin tidak diberikan kepada tahanan dengan disabilitas sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia dan berpartisipasi dalam kehidupan lembaga pemasyarakatan. Mereka sering menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi dan direndahkan, mengalami penyiksaan dan praktik berbahaya lainnya yang ada di lembaga pemasyarakatan.

About the Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these