

A. Latar Belakang
Kelompok minoritas dimanapun berada sangat dekat dengan perlakuan diskriminatif. Tindakan diskriminatif baik berupa perkataan maupun perbuatan. Salah satu bagian dari kelompok minoritas yang ada adalah kelompok penyandang disabilitas. Kata “penyandang” menurut Kamus Besar bahasa indonesia (KBBI) diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu, kata disabilitas merupakan kata bahasa indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang
berarti cacat atau ketidakmampuan. Penggunaan kata “disabilitas” sebelumnya lebih kita kenal dengan penyandang “cacat”. Sebagai bagian dari masyarakat umunya, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama. Hak tersebut meliputi hak hidup, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik, serta hak pembangunan.
Data menunjukkan jumlah disabilitas di Indonesia saat ini menacapai angka 12 persen sebagaimana survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Angka tersebut terbagi dalam beberapa kategori, baik dari jenis kelamin, dan tingkat disabilitas (sedang dan berat). Permasalahan hak disabilitas tidak hanya di alami oleh Indonesia, dikarenakan isu ini merupakan isu global. Beberapa langkah masyarakat internasional untuk pemajuan pemenuhan hak penyandang disabilitas terus diupayakan. Pengakuan hak bagi penyandang disabilitas oleh masyarakat internasional dengan memulai gerakan tahun 1982 tidak berhenti hingga tahun 3 Sampai dengan tahun 2016, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 12 persen dimana yang termasuk di dalam kategori sedang sebanyak 10,29 persen dan kategori berat sebanyak 1,87 persen. Sementara untuk prevalensi disabilitas provinsi di Indonesia antara 6,41 persen sampai 18,75 persen. Tiga provinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi adalah Sumatra Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Dari angka 12,15 persen penyandang disabilitas 45,74 persen tingkat pendidikan penyandang disabikitas tidak pernah atau tidak lulus SD, jauh dibandingkan non-penyandang disabilitas yang sebanyak 87,31 persen berpendidikan SD keatas. Dengan jumlah penyandang disabilitas perempuan yaitu 53,37 persen. Sedangkan sisanya 46,63 persen adalah laki-laki. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 sebagaimmana dikutip dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/umu m/16/12/16/oi9ruf384-indonesia-miliki-12-perse n-penyandang-disabilitas. Diakses tanggal 2 Juli 2017.
1993 dengan melibatkan peran serta persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara peserta juga didorong untuk memperbaiki arah kebijakannya untuk lebih meningkatkan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas.
Pada pertemuan para ahli yag diadakan di Boalt Hal School of Law pada tanggal 8-12 desember 1998 mengemukakan dua pendekatan yang selama ini terdapat dalam isu HAM penyandang cacat.
cacat tapi dengan memandangnya melalui model medis yang sebagai konsekuensinya memanadang mereka sebagai bagian dari anggota komunitas dengan hak-hak yang setara.
Pendekatan pertama merupakan pendekatan yang selama ini kita temui dalam realitas di masyarakat. Masih ada pengucilan dan anggapan melihat penyandang cacat dengan rasa “belas kasihan”, tidak memposisikan bahwa mereka juga merupakan bagian dari masyarakat pada umumnya. Bukanlah sebuah sikap “belas kasihan namun pengakuan dan pemenuhan atas hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Pemenuhan hak setiap manusia selain disepakati dalam berbagai konferensi yang mengasilkan instrument HAM Internasional juga tidak luput dari campur tangan pemerintah. Salah satu 4 Anna Lawson dalam Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional, IMR Press, Cianjur, 2013, Hlm. 580-581.
tidaklah mencerminkan sebagai rasa kasihan tapi lebih pada hak mereka.
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerinta
langkah yang di lakukan adalah memberikan perlindungan hukum dalam pemenuhan hak dengan meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional khususnya yang berkaitan dengan penyandang Disabilitas, membentuk instrument hukum nasional hingga pada tingat daerah, serta melihat kebijakan negara-negara lainnya dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Tuntutan akan hak dan diadakannya sarana dan prasarana aksesibilitas fisik maupun non-fisik bagi penyandang disabilitas telah sering disuarakan oleh para aktivis Organisasi Penyandang Disabilitas (Disabled People Organisation). Sebagian hak sudah diupayakan dan direalisasikan oleh pemerintah, seperti: pembangunan sekolah luar biasa, dibangunnya fasilitas-fasilitas di beberapa gedung, penerjemah berita penyandang disabilitas rungu/tuli di televisi (sekarang justru ditiadakan), transportasi khusus disabilitas dan sebagainya, walaupun masih minim dan kadang tidak terurus.
Daerah juga didorong untuk menyediakan fasilitas yang menunjang bagi penyandang disabilitas khususnya kelompok usia sekolah. Serta disediakan regulasi yang mencukupi seperti dengan Peraturan Daerah (Perda). Dorongan bagi daerah terus dilakukan karena dalam lingkup pemerintahan di daerah belum banyak tersedia peraturan daerah yang dapat memberikan perlindungan yang dimaksud salah satunya hak aksebilitas. Suatu perlindungan yang mencakup seluruh hak yang dapat diakses oleh masyarakat secara umum, yang sering disebut aksesibilitas. Pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia.
Momentum reformasi tahun 1998 membwa pengaruh yang cukup besar di dalam perubahan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia. Khususnya dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menambah Pasal 28 I- 28 J tentang HAM, yang semula pada naskah asli hanya mengatur tentang hak warga negara.. 10 Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dimana Indonesia juga turut menandatanganinya. Sekalipun perubahan tersebut juga memuat aturan pembatasan. Namun ini menjadi capaian yang baik sejak Indonesia merdeka Tahun 1945.
Penyandang disabilitas sekalipun tidak disebut secara tegas dalam UUD NRI tahun 1945, namun merupakan bagian dari manusia yang kedudukannya sama. Sebagaimanan prinsip dalam HAM yang universal, non diskriminasi, tidak dapat di pungkiri, tidak dapat di bagi dan tidak dapat dikurangi. Pemenuhan hak perlu adanya payung hukum, hal ini selaras dengan tujuan pembentukan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Pada intinya bahwa perwujudannya bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Baik manusia yang terlahir “normal” dan terlahir dengan “ketidaksempurnaan fisik atau mental”.
Pada anak-anak disabilitas dibekali dengan pendidikan yang sama sehingga ketika tumbuh dewasa menjadi pribadi yang mandiri, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Jangan sampai hanya berakhir dijalanan karna tidak memiliki pendidikan dan keahlian. Terserapnya penyandang disabilitas di usia kerja pada lapangan pekerjaan baik sebagai pegawai negeri maupun pekerjaan swasta. Keenggaan perusahaan mempekerjakan penyandang disabilitas turut menambah jumlah disabilitas yang tidak terserap pada dunia kerja. Diberikannya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk aktif dalam dunia politik.
Sebelum adanya ratifikasi atas CRPD banyak instrument-instrumen berkaitan dengan penyandang disabilitas. Dari Undang-Undang, Peraturan Menteri terkait hingga Peraturan Daerah. Undang-undang yang didalamnya juga menyinggung tertang penyandang disabilitas antara lain ketenagakerjaan,
pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Kondisi ini membuktikan bahwa sesuangguhnya Indonesia memiliki cukup instrument perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas namun terhambat pada taraf implementasinya. Indonesia juga memiliki organisasi penyandang disabilitas salah satunya adalah Persatuan Penyandang disabilitas Indonesia, yang memiliki kantor perwakilan di berbagai daerah, salah satu yang dilakukannya adalah advokasi terhadap penyandang disabilitas agar hak-haknya dapat dipenuhi oleh pemerintah, serta melakukan penggalangan dana serta kegiatan – kegiatan yang melibatkan penyandang disabilitas.
B. Perumusan Masalah
Bagaiamakah hak penyandang disabilitas dalam prespektif HAM Interasional dan HAM Nasional.
Ragam dari penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.
Terdapat penyandang disabilitas ganda atau multi” yaitu penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan disabilitas netra-tuli. Baik penyandang disabilitas fisik, mental ataupun ganda memiliki hak yang sama.
Terkait dengan hak penyandang disabilitas, perlu diperhatikan tentang makna hak. Hak mulai menjadi perbincangan seiring timbulnya negara-negara nasional yang mempersoalkan hubungan negara dan warga negara. Teori-teori yang berbasis pada hak memberikan justifikasi terhadap diutamakannya kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat. Hukum dirancang untuk sebanyak mungkin melindungi kepentingan individu sebagaimana yang dikemukakan Jeremy Bentham lewat utilitarianismennya. Hak juga merupakan sesuatu hal yang tak terpisahkan dari hakekat kemanusiaan itu sendiri. Menurut Lord Lloyd of Hamstead dan M.D.A. Freeman terdapat dua teori hakikat dari hak, yaitu teori kehendak yang menitikberakan kepada kehendak atau pilihan dan yang lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Dan teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum. Menurut Paton bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum, melainkan kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk merealisasikan suatu kepentingan, karena kehendak manusia tidak bekerja tanpa maksud apa-apa (in vacuo) tetapi menginginkan tujuan-tujuan tertentu yaitu kepentingan. Ronald Dworkin menyampaikan bahwa hak paling tepat dipahami sebagai yang paling tinggi atas justifikasi latar belakang bagi keputusan politis yang menyatakan suatu tujuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Dworkin menempatkan hak sebagai suatu yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun.
Pengertian hak lebih banyak dihubungkan dengan hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggantikan istilah human rights, fundamental right, atau basic rights. Pengetian HAM dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 1 angka 1 yaitu, “HAM adalah seperangkat hak yang meleat dan pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-NYA, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak secara garis besar dapat disimpulkan sebagai hak-hak yang seharusnya diakui secara Universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia sebagai manusia, dengan sifat dasar HAM yang dimilikinya. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat melakukan pengurangan maupun perampasan terhadap HAM tersebut. Jikapun ada pembatasan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 28 J UUD NRI 1945 hanya boleh dilakukan dengan Undang-Undang. Hak Penyandang Disabilitas merupakan bagian dari HAM secara umum. Terdapat berbagai intrumen HAM internasional dan juga HAM Nasional.
Pengertian penyandang disabilitas ditemukan dalam berbagai instrument hukum. Sebagimana yang terdapat dalam Konvensi International Hak-Hak Penyandang, “penyandang disabilitas mencakupi mereka yang memiliki-penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Pengertian yang hampir sama diberikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tahun 1997 tentang Penyandang cacat.
2. Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas dalam Prespektif HAM Internasional
Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok minoritas tersebesar didunia, dengan kurang lebih meliputi 600 juta orang dengan dua pertiga berada di negara berkembang. Pada awal pembentukan International Bill of Human Rights tidak memasukan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Di dalam DUHAM serta International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR/Kovenan Hak sipil dan Politik) dan International Covenant on Economic Social and Culture Rights (ICESCR/Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) sebagai insterumen HAM Internasional yang utama tidak ada satupun klausul kesetaraan dan yang secara eksplisit menyebutkan disabilitas sebagai kategori yang dilindungi. Hak yang diatur adalah hak secara umum. Terkait dengan penyandang cacat jika merujuk pada pendapat Komite CESCR, istilah “cacat” meliputi segala bentuk batasan-batasan fungsional yang berbeda-beda yang terdapat diberbagia populasi. Orang yang cacat fisik, intelektual atau kerusakan saraf, keadaan medis dan sakit mental. Kerusakan syaraf-syaraf media atau kesakitan yang bersifat permenen atau sementara. Komite CESCR melalui General Comment no 5. Dalam Comment tersebut dinyatakan bahwa Komite mendorong Majelis Umum dan Komisi HAM untuk memonitor para negara peserta terkait dengan ketaatannya terhadap hak-hak orang cacat.
Sekalipun tidak mengatur secara tegas tentang penyandang cacat namun Deklatasi Umum Hak Asasi Manusia ditunjukkan sekerangka bagiperlindungan atas hak-hak yang berada di dalamnya, termasuk hak bagi penyandang disabilitas dan di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, pada dasarnya mendorong partisipasi dan kebebasan yang lebih besar bagi semua individu dan golongan yang ada.
Perlindungan terhadap ICESCR pun dapat ditemukan dalam Standar Rules, dimana Standar Rules ini sangat penting dan merupakan bimbingan yang berharga untuk mengidentifikasi secara tepat apa yang menjadi kewajiban para negara peserta. Dimana selaras dengan Kovenan Hak Atas Perlakuan Non Diskriminatif, dimana dalam pengertiannya hak ini harus meliputi penghapusan atas berbagai bentuk diskriminatif yang menjadi para penyandang cacat mampu berintegrasi dan menjalani hidu secara mandiri dan berdaulat. Hak-hak lainnya adalah ha katas kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 1970-an dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan Cacat Mental pada tahun 1971 dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Cacat (1975), membuat mengutakan keberadaan penyandang disabilitas menjadi subyek dari deklarasi HAM. Dalam Deklarasi Mengenai Hak-Hak Para Penyandang Cacat mendefinisikan orang cacat sebagai “setiap orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, secara keseluruhan atau sebagian, sebagaimana layaknya individu normal dan/atau kehidupan sosial sebagai akibat
dari kekuarangannya , baik bawaan lahir (congenital) atau tidak, dalam mental atau kemampuan fisiknya. Deklarasi ini mendorong agar organisasi-orgasisasi terkait (internasional maupun nasional yang bergerak di bidang advokasi terhadap penyandang disabilitas) harus diikutkan dalam semua hal yang berkaitan dengan hak-hak penyandang cacat.
Penyandang cacat dan keluarganya harus diberi informasi mengenai hak-hak yang terkandung dalam Deklarasi. Adapun hak-hak tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik sebagaimana dimiliki oleh warga negara lainnya, hak atas berbagai tindakan yang ditujukan supaya meraka menjadi mandiri, ha katas berbagai pelayanan seperti medis dan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian, hak untuk terlibat dalam pekerjaan yang bernilai komersial dan bergabung dengan serikat pekerja, dan hak atas perlindungan terhadap praktek eksploitatif. Deklarasi mengenai Hak-Hak Para Penyandang Cacat Mental dibentuk atas dasar keyakinan bahwa orang yang memiliki keterbelakangan mental pun memiliki hak-hak yang sama dengan manusia lainnya, deklarasi ini menyatakan beberapa prinsip bahwa para penyandang cacat mental berhak atas perawatan medis yang tepat dan pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuannya secara potensial, hak atas keamanan ekonomi, untuk melakukan pekerjaan yang produktif dan standar hidup yang layak, keluarag yang tinggal bersama dengan oraang-orang cacat berhak atas bantuan, hak unuk mendapatkan perlindungan atas berbagai perlakuan yang eksploitatif, merendahkan dan menyalahgunakan wewenang. Dalam hal ketidakmampuan dari orang cacat mental tersebut melaksanakan hak-hak tadi maka prosedur yang ditunjukan sebagai pembatasan tersebut harus memuat ketentuan hukum yang dapat melindunginya dari segala bentuk penyalahgunaan. Kemudian prosedur inipun didasarkan atas evaluasi mengenai kemampuan sosialnya oleh para ahli yang mumpuni dan harus menjadi sbek penilain ulang secara periodic dan memuat hak untuk dilakukan banding.
Pengaturan pengenai penyandang disabilitas secara khusus pada anak diataur dalam Convention on the Rights of the Child (CRC) pada Pasal 23.
Hal ini diperkuat dengan empat prinsip umum yang telah diidentifikasi oleh Komite CRC. Pertama prinsip non diskriminasi yang memuat supaya penerapan hak-hak dalam Konvensi meliputi seluruh golongan anak. Kedua, prinsip kepentingan terbaik untuk anak melalui ini Komite dalam mempertimbangkannya harus menjadikan kepentingan anak penyandang cacat sebagai acuan utamanya. Ketiga, hak untuk hidup dan mempertahankannya dan berkembang yang termuat dalam pasal 6 CRC. Keempat prinsip untuk didengar dan berpartisipasi hal mana melalui ini diharapkan anak-anak penyandang cacat tidak lagi termarjinalisir. Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD/Konvensi Hak-Hak penyandang Disabilitas) sebagai saat ini menjadi instrument Ham internasional yang penting mengatur tentang penyandang disabilitas. Garis besar pemikiran dalam CPRD adalah.
Hak-hak penyandang disabilitas menutur Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat. Hak-hak tersebut diperinci yaitu,
1) hak atas aksesibilitas,
2) hak untuk hidup,
3) hak memperoleh jaminan perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, termasuk situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan, dan terjadinya bencana alam,
4) hak atas kesetaraan pengakuan di hadapan hukum,
5) hak atas akses terhadap keadilan,
6) hak atas kebebasan dan keamanan,
7) hak atas kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia,
8) hak atas kebebasan dari eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan,
9) hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya,
10) hak untuk memperoleh dan mengubah kewarganegaraan,
11) hak untuk hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat,
12) hak atas mobilitas pribadi,
13) hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat serta akses terhadap informasi,
14) hak memperoleh penghormatan terhadap keleluasaan pribadi,
15) hak mempe roleh penghormatan terhadap rumah dan keluarga,
16) hak atas pendidikan, kesehatan, habilitasi dan rehabilitasi,
17) hak atas pekerjaan dan lapanga kerja.
Negara pihak yang melakukan ratifikasi atas konvensi inipun memiliki kewajiban untuk dapat melaksanakan ketentuan dari Konvensi selain itu negara pihak juga harus membuat laporan kepada komite pemantau hak penyandang disabilitas melalui Sekertaris Jendral PBB. Yang berisi tindakan yang telah diambil oleh negara peserta dan dibuta dalam 2 tahun sekali.
Aprilina Pawestri
(Dosen Bagian HTN-HAN, Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura. Meraih Sarjana Hukum (S.H.) dari Universitas Sebelas Maret, Magister Hukum (M.H. dari Universitas Sebelas Maret)